Pengaruh Salinitas Terhadap Budidaya Udang Windu (Limnologi Atau Limnology)



BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pengertian Salinitas adalah Banyaknya garam alam gram yang terdapat pada satu liter air laut.Salinitas biasanya dinyatakan dengan per mil (‰) atau perseribu yang menunjukkan berapa gram kandungan mineral dalam setiap 1.000 gram air laut. Misalnya, salinitas Laut Jawa 32‰, hal ini berarti bahwa dalam setiap 1.000 gram air Laut Jawa terlarut kadar garam sebanyak 32 gram. Salinitas disebut juga kadar garam (Surakarta,2014).

udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Permintaan konsumen dunia terhadap udang ratarata naik 11,5% per tahun. Walaupun masih banyak kendala, namun hingga saat ini negara produsen udang yang menjadi pesaing baru ekspor udang Indonesia terus bermunculan.Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan.

merupakan salah satu komoditas primadona di subsektor  perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar di luar negeri yangcenderung meningkat serta sumber daya yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat besar untuk dapat dikembangkan budidayanya.Budidaya udang windu sudah lama di kenal oleh masyarakat Indonesia, sejak awal dekade1970, pada awal-awal tahun (1970-1990) produksi udang windu yang dihasilkan dari budidayameningkat dengan pesat, namun seiring dengan berjalannya waktu sampai sekarang budidaya udangwindu mengalami kemunduran.

Hal ini dikarenakan pengembangan teknologi budidaya nya dilakukan tanpa dasar ilmiah yang kokoh maka banyak usaha budidaya udang (lebih dari 60%) mengalami kegagalan, selain itu udang windu mengalami kematian massal yang disebabkan kondisi lingkungan yang buruk dan terserang penyakit. Sehingga banyak petani udang windu beralih usaha ke budidaya ikan (bandeng atau nila) dan sebagian lain menelantarkan tambak akibat kerugian.Oleh karena itu kami akan mengkaji ataupun membahas pengaruh salinitas terhadap udang windu agar udang windu tidak mengalami kematiaan massa akibat salinitas.

RUMUSAN MASALAH
Apa itu salinitas dan bagaimana hubungan nya dengan udang windu?
Bagaimana efek atau dampak salinitas terhadap udang windu?
Bagaimana kadar salinitas yang baik buat budidaya udang windu?
         
TUJUAN
Untuk mengetahui apa itu salinitas dan pengaruh nya terhadap udang windu
Mengetahui efek salinitas terhadap udang windu
Kadar salinitas yang baik untuk budidaya udang windu

BAB II
PEMBAHASAN

PENGARUH SALINITAS TERHADAP UDANG WINDU
Budidaya udang merupakan Usaha Budidaya yang dikenal hanya dilakukan pada kawasan pantai dengan salinitasi air diantara 15-35 ppt (konkeo,1994) yang merupakan kondisi salinitasi perairan yang paling ideal untuk budidaya pembesaran di tambak karena memberikan kondisi lingkungan yang sesuai dengan tingkat escomotic cairan tubuh udang. Pemeliharaan udang pada salitasi terlalu tinggi atau terlalu rendah dari kisaran tersebut mengakibatkan produktifitas tambak rendah.

 Namun demikian, dengan teknik budidaya yang menerapkan BMPs (Best Management Practices), maka budidaya udang masih dapat dilaksanakan dengan kondisi salinitas air rendah, bahkan hingga 2 ppt dan masih memberikan hasil, seperti yang dilakukan di Sidoarjo, Demak, Gresik, Lamongan, dan Kendal. Penerapan BMPs (Best Management Practices) pada budidaya udang meliputi meliputi perbaikan kualitas tanah dasar tambak, penggunaan benih berkualitas baik dengan standar SPF (Spesific Pathogen Free), pengelolaan air yang baik, pengelolaan pakan dengan dosis yang tepat, penggunaan petak biofilter serta pengelolaan limbah dari pencemaran.

Berdasarkan toleransinya terhadap salinitas, maka udang windu termasuk ke dalam golongan euryhaline laut, yaitu hewan laut yang mampu hidup pada air tawar. Di beberapa tempat, udang windu ditemukan masih mampu hidup pada salinitas 40 permil, namun terbukti mengalami pertumbuhan yang lambat.Nilai salinitas yang optimal bagi udang windu adalah 15 - 25 permil. Jika nilai salinitas terlalu tinggi, konversi rasio pakan akan tinggi sehingga untuk mengantisipasinya, volume penggantian air harus diperbesar.

Pada salinitas tinggi, hewan air termasuk udang windu dalam adaptasinya akan kehilangan air melalui difusi keluar badannya. Dalam kaitan ini, udang akan banyak minum air dan menghindari kelebihan garam dengan mekanisme tertentu. Keseluruhan mekanisme itu memerlukan energi ekstra, sehingga dapat menurunkan efisiensi pakan yang dikonsumsi. Dalam usahanya menghindari kelebihan garam di dalam tubuhnya, akan terjadi pengerasan eksoskeleton yang dapat mengakibatkan gagal ganti kulit. Satu-satunya cara untuk mengatasi salinitas yang terlalu tinggi adalah pengenceran dengan airtawar.

Salinitas mempunyai hubungan erat dengan tekanan osmotik air. Semakin tinggi salinitas air maka semakin tinggi tekanan osmotiknya. Tekanan osmotik inilah yang akan mempengaruhi kehidupan udang windu dan bandeng dalam tambak, sebab tekanan osmotik lingkungan perairan akan mempengaruhi tekanan osmotik darah di dalam tubuh ikan.

KONDISI KAWASAN TAMBAK UNTUK BUDIDAYA UDANG SALINITAS RENDAH
Kawasan tambak untuk budidaya udang baik udang windu maupun udang vaname dengan salinitas rendah berada pada kawasan estuarine yaitu kawasan tambak yang masih terkena pengaruh iklim pantai.Kawasan tambak ini bisa berada hingga 30 km dari pantai tetapi masih ada pengaruhnya pasang surut air baik melalui sungai maupun saluran.Sebagai contoh kawasan ini adalah kawasan tambak di daerah Kabupaten Gresik dan Lamongan di sisi aliran Sungai Bengawan Solo.Pada musim kemarau, aliran air pasang pada Sungai Bengawan Solo masuk kedaratan hingga puluhan kilometer, sehingga menyebabkan salintas air payau sekitar 1-2 ppt.

 berdasrkan kajian di lapangan ternyata udang windu maupun vaname masih dapt hidup dan tumbuh pada tambak dengan salinitas air mencapai 1 ppt. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah kadar garam air tambak yang rendah tersebut berasal dari dari kadar garam air laut yang terus mengalami penurunan atau pengenceran karena mendapat tambahan air tawar dari air hujan maupun air sungai. Kadar garam yang rendah pada tambak udang bukan berasal dari cara menambahkan garam krosok atau NaCl pada air tambak. Hal ini diduga penambahan garam krosok untuk menaikan kadar garam pada media air untuk budidaya udang, tidak cukup melengkapi kebutuhan anion dan kation yang diperlukan untuk kehidupan dan pertumbuhan udang

AKLIMASI SALINITAS DAN PENEBARAN BENIH
Aklimasi salinitas pada media pemeliharaan benih marupakan kunci utama untuk menekan angka kematian.Perbedaan salinitas antara media pemeliharaan benih dan air tambak maksimum 3ppt lebih rendah atau lebih tinggi dari air tambak. Salinitas optimum untuk pemeliharaan udang antara 15 hingga 25 ppt. Untuk salinitas dibawah 15 ppt, aklimasi benih dapat dilakukan lebih rendah maksimum 3 ppt dari salinitas air tambak Media pemeliharaan benih udang umumnya dengan dengan salinitas 28-30 ppt. Penurunan salinitas lebih baik dilakukan di bak pemeliharaan benih yang dimulai setelah larva udang berumur 10-12 12 (PL10-PL12) dengan penambahan air secara bertahap sebesar 2-3 ppt perhari hingga salinitas media air 15 ppt. Penurunan salinitas media benih selanjutnya dilakukan secara bertahap 1-2 ppt hingga salinitas yang sesuai dengan salinitas air tambak.

Secara umum untuk aklimasi salinitas media benih menjadi 2 ppt diperlukan waktu sekitar 15 hari atau benuh berukuran tokolan (PL25).Oleh karena itu sebelum melakukan aklimasi penurunan salinitas juga sudah diperhitungkan kepadatan jumlah benih dalam bak. Setelah salinitas disesuaikan dengan salinitas air tambak, dilakukan pemanenan dan transportasi ke tambak. Pada proses transportasi dilakukan dengan penurunan suhu media hingga 240C agar benih tidak aktif untuk menghindari kanibalisme. Setelah sampai tambak dilakukan adaptasi suhu sesuai dengan suhu air tambak dengan cara mengapungkan kantong benih pada air tambak. Setelah sehu naik sama dengan air tambak yang ditandai benih udang mulai aktif bergerak dilakukan penenyebaran dengan menuang benih dalam air tambak.

PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Untuk memenuhi kriteria kualitas kualitas air yang baik, maka air yang diambil dari saluran penyedian air dilakukan dengan cara memompa air dan ditampung dengan petak reservoir yang dilengkapi dengan biofilter, berupa ikan bandeng. Setiap penambahan air baru dari sumber air harus dilakukan sterilisasi dengan kaporit dan telah melaui biofilte. Parameter kualitas air yang penting yang dilakukan pengendalian adalah kepadatan plankton dipertahankan pada kecerahan 35-45 cm dengan warna air hijau muda, coklat muda, hijau kecoklatan. Oksigen terlarut pada air di dasar tahan dipertahankan minimal 3,5 ppm selama pemeliharaan dengan pengguanaan kincir. Alkalinitas dipertahankan berkisar 90-140 ppm. Nilai pH air berkisar 7,8-8,5. Kedalaman air minimal 60 cm dan bahan organic terlarut minimal 150 ppm. Permasalahan yang sering terdiri pada budidaya udang windu dengan salinitas rendah adalah tumbuhnya makroalga dari jenis submerged plant, yang dikenal dengan gangang. Beberapa spesies yang ditemukan adalah Nitella sp dan Clara sp yang tumbuh dengan akar di dasar tambak dan batang serta daun pada kolom air dengan kerapatan yang tinggi.Makroalga tersebut tumbuh memanjang ke atas hingga permukaan air.Jenis tanaman air lainnya seperti rumput yang dikenal oleh masyarakat petani adalah rumput asinan.Dampak positif tanaman makroalga tersebut dapat menurunkan kandungan bahan organik tanah dan air sehingga dapat mencegah pembetukan ammonia dan nitrit serta asam sulfide.Disamping itu pada akar tanaman makroalga tersebut banyak tumbuh cacing dan organisme renik lainya sebagai bahan pakan utama udang. Namun demikian dampak negatif adalah kerapatan yang tinggi menyebabkan udang tidak bebas bergerak karena terperangkap serta membuat kelarutan oksigen pada pagi hari kurang dari 3 ppm pada saat biomassa makroalga melebihi 10 kg/m2 berat basah. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melakukan penebaran ikan herbivora yang mampu memanfaatkan makroalga tersebut sebagai pakan. Jenis ikan herbivora yang dapat digunakan adalah grass carp (Koan), Nila GIFT, dan bandeng.

PENYAKIT DAN PROBIOTIK TERHADAP UDANG WINDU
Salah satu penyakit bakterial yang banyak menyerang larva udang windu adalah penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi.Serangan penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada pembenihan udang windu (Lavilla-Pittogo et al., 1990dalamWidanarni et al.,2010). Biasanya stadia yang diserang mulai dari stadia zoea sampai awal pasca-larva (Rukyani, 1992 dan Mariyono et al., 2006dalamWidanarni et al.,2010).

Saat ini telah banyak dikembangkan metode lain yang diharapkan lebih aman dan efektif salah satunya adalah dengan penggunaan bakteri probiotik sebagai agen biokontrol. Penelitianmengenai penggunaan probiotik dalam pembenihan udang windu telah banyak dilakukan (Rengpipat et al., 1998; Haryanti et al., 2000dalamWidanarni et al., 2010).Salah satu bakteri kandidat probiotik yang telah diuji mampu menekan mortalitas larva udang windu akibat serangan V. harveyi adalah bakteri probiotik Vibrio SKT-b (Widanarni et al., 2003dalamWidanarni et al.,2010).Probiotik Vibrio SKT-b dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva udang windu baik ketika diberikan lewat pakan maupun diberikan langsung ke media pemeliharaan larva.

Probiotik merupakan agen mikroba hidup yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan atau status kesehatan hewan akuatik.dosis probiotik Vibrio SKT-b yang berbeda dapat memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva udang windu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fuller (1992) dalamWidanarni et al.(2010), bahwa faktor yang mempengaruhi respons inang terhadap probiotik antara lain: komposisi mikroflora intestinum inang, dosis yang digunakan, umur dan spesies atau strain hewan inang, kualitas probiotik dan cara preparasi probiotik.

Salinitas air pemeliharaan adalah 28 ppt pada awal pemeliharaan dan 30 ppt pada akhir pemeliharaan. Nilai salinitas ini berada pada kisaran optimum untuk pemeliharaanlarva udang windu. Seperti yang dikemu-kakan oleh Boyd (1991)dalamWidanarni et al.(2010), bahwa larva udang sebaiknya dipelihara dalam air yang bersalinitas 28-35 ppt. Salinitas dapat berpengaruh pada pertumbuhan larva udang windu, pada salinitas diluar kisaran optimumnya larva udang windu akan mengeluarkan energi yang lebih banyak untuk proses osmoregulasi sehingga energi yang tersedia untuk pertumbuhan akan menjadi lebih sedikit. Oleh karena itu, apabila salinitas menyimpang terlalu besar dari kisaran optimumnya, hewan akan mati karena tidak dapat melakukan homeostasis (Boyd, 1990dalamWidanarni et al.,2010).

Penyakit kerdil udang windu atau dikenal dengan istilah monodon slow growth syndrome(MSGS) di Sulawesi Selatan sebenarnya telah banyak menyebabkan kerugian petani tambak karena ukuran udang yang tidak bisa mencapai ukuran standar sesuai umur udang tersebut, namun laporan tentang kerugian ekonomi yang dialami usaha budidaya di Sulawesi Selatan belum pernah dilaporkan. Sriwulan (2012) melaporkan adanya fenomena udang windu kerdil di tambak di Sulawesi Selatan yaitu udang windu berukuran sekitar 4.12– 16.86 g setelah 4 bulan pemeliharaan.Udang yang dipelihara di tambak selama 4 bulan memperlihatkan pertumbuhan yang kerdil dengan laju pertumbuhan harian sekitar 0.07 sampai 0.15 g/hari atau hanya mencapai beratsekitar 16.8 g/ekor, jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang normal yang laju pertumbuhan hariannya sekitar 0.2 g/hari dengan berat badan sekitar 24 g/ekor setelah dipelihara selama 4 bulan (Chayaburakul et al., 2004).Penyakit kerdil udang windu yang telah dilaporkan di beberapa negara disebabkan oleh beberapa jenis patogen seperti virus dan parasit. Jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit kerdil adalah virus Monodon baculovirus (MBV), Hepatopancreatic parvovirus (HPV), Infectious hypodermaland hematopoietic necrosis vrius (IHHNV), serta Laem-sing necrosis virus (LSNV) (Chayaburakul et al., 2004; Sritunyalucksana et al., 2006).Jenis parasit yang berasosiasi dengan penyakit kerdil adalah microsporidian dan gregarine yang terdapat pada usus udang yang pada infeksi berat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan, perubahan warna menjadi kuning dan terjadi perforasi dan hiperflasia pada epitelium usus tengah/midgut (Poulpanich and Withyachumnarnkul, 2009).Tipe infeksi yang dimaksud pada penelitian ini adalah model/tipe virus menginfeksi udang windu yaitu secara sendiri, berdua atau bertiga dan seterusnya. Tipe infeksi tunggal yaitu jika infeksi oleh satu jenis virus, tipe infeksi ganda jika dua jenis virus menginfeksi, dan tipe infeksi tripel jika tiga jenis virus menginfeksi satu individu udang windu. Di Thailand, udang windu diinfeksi oleh virus MBV, IHHNV dan HPV, baik secara tunggal, ganda maupun tripel (Chayaburakul et al., 2004;Flegel et al., 2004).

Keberadaan agen penyakit pada kondisi budidaya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kualitas media pemeliharaan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap populasi patogen. Multiplikasi virus IHHNV pada L. vannamei yang dipelihara pada air hangat (32.8oC dan 31.1oC) memperlihatkan tingkat replikasi yang lebih rendah dibanding dengan yang dipelihara pada suhu dingin (24.4-26.3oC) (Montgomery-Brock et al., 2007). Begitupula dengan WSSV dan taura syndrome virus (TSV), tidak bisa bereplikasi pada udang yang dipelihara dalam air hangat (32oC) dibanding pada udang yang dipelihara pada suhu dingin (25oC) (Montgomery-Brock et al., 2004). Pada musim hujan populasi virus WSSV pada udang windu meningkat karena kekeruhan yang tinggi dan salinitas yangrendah (Karunasagar and Karunsagar 1997).

Hal ini memperlihatkan bahwa dinamikaperkembangan virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa suhu air yangtinggi mencegah terjadinya infeksi dan secara nyata mengurangi mortalitas udang yangterinfeksi WSSV serta menunjukkan bahwa suhu air yang tinggi menghambat replikasiWSSV disebabkan oleh peningkatan aktifitas respon imun inang.Pengaruh salinitas dan pHterhadap immunokompetensi udang telah diteliti oleh Pan and Jiang (2002), selama perubahan singkat salinitas 10 jam dari 30‰ ke 15‰, begitupula dengan fluktuasi pH dari 8,5 ke 7.0 atau ke 9.5 aktifitas bakteriolitik dan aktifitas antibakteri dari dua udang (Fenneropenaeus chinensis dan L. vannamei) secara bertahap berkurang, sementara aktivitas PO (Phenoloksidase) meningkat. Udang merupakan salah satu primadona komoditas perikanan yang populer dan memiliki nilai tinggi. Produksi udang windu mengalamipenurunan sebesar 1,85 persen setiap tahunnya.Turunnya produksi udang windu akibat adanyapenyakit yang menyerang udang windu, apalagiwindu termasuk komoditas yang rentan terhadappenyakit (Kementerian Kelauatan dan Perikanan,2011).

Fase pertumbuhan udang yang mudah terserang penyakit pada udang adalah tahap post larva. Pertumbuhan dan ketahanan penyakit pada larva udang sangat ditentukan oleh pakan yang diberikan. Peningkatan kandungan nutrisi dari pakan alami akan berpengaruh pada kualitas larva udang windu sehingga kelangsungan hidupnya dapat meningkat (Mujiman & Suyanto, 2003). Salah satu aplikasi dalam bidang rekayasa genetik adalah rekombinasi dengan metode fusi protoplas. Fusi protoplas menawarkan keunggulan karena prosedurnya relatif lebih mudah dan ekonomis dibandingkan dengan yang lain dan segera menghasilkan rekombinan baru yang dikehendaki untuk perbaikan mutu dan sifat dalam waktu yang singkat (Zainuri et al., 2009).

D. salina dan C. vulgaris merupakan mikroalga dengan kandungan karotenoid total yang tinggi yaitu mencapai 6000-8000 μg/g. Udang merupakan hewan budidaya yang tidak dapat mensintesis vitamin A. Terkait dengan hal itu, larva udang membutuhkan pakan dengan kandungan karotenoid yang cukup untukkelangsungan hidupnya. Karotenoid adalah pigmen organik pro-vitamin A yang terdapat secara alamiah pada organisme fotosintetik, termasukD. salina dan C. vulgaris.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Salinitas adalahBanyaknya garam alam gram yang terdapat pada satu liter air laut.
udang windu ditemukan masih mampu hidup pada salinitas 40 permil, namun terbukti mengalami pertumbuhan yang lambat
Nilai salinitas yang optimal bagi udang windu adalah 15 - 25 permil
Pada salinitas tinggi, hewan air termasuk udang windu dalam adaptasinya akan kehilangan air melalui difusi keluar badannya.

SARAN
Semoga makalah ini dapat berguna bagi siapapun yang membaca, dan kami memohom maaf apabila ada kata penulisan yang salah , dikarenakan data yang masih kurang.

EDITOR
Gery Purnomo Aji Sutrisno
FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015
         
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, L.2013.Evaluasi kesesuaian lahan tambak untuk budidaya udang windu dan bandeng disekitar desa Tambak Kalisogo dan desa Permisan kecamatan Jabon kabupaten Sidoarjo.Pendidikan Geografi UNESA
Rahmawati1, N., Muhammad Zainuri dan Hermin Pancasakti Kusumaningrum.Aplikasi Pakan Kaya Karotenoid Hasil Fusi ProtoplasmIntergenera Dunaliella salina dan Chlorella vulgaris pada Udang Windu (Penaeus monodon F.) Stadia PL-20 Di Desa Asempapan, Pati, Jawa Tengah.BIOMA.Vol. 15, No. 2, Hlm. 46-52.ISSN: 1410-8801
Sriwulan, Akbar Tahir, Baharuddin, Alexander Rantetondokdan Hilal Anshary.2013.Tipe Infeksi Virus Penyakit Kerdil ((IHHNV, MBV, dan HPV)pada Benih Udang Windu (Penaeus monodon) pada Musim BerbedaDi Sulawesi Selatan.Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS
Umami, F., Wisanti., Yuliani.2012.Kerusakan insang dan pertumbuhan udang windu (Panaeus monodon Fab.) di tambak keputih Surabaya yang tercemar logam timbal dan salinitas (Pb). Lentera Bio. Vol.1 No.1.Hlm. 25-33
Widanarni, M. A. Lidaenni , D. Wahjuningrum.2010.Pengaruh pemberian bakteri probiotik Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva udang windu (Penaeus monodon) Fab.Jurnal Akuakultur Indonesia.Vol.9 No.1. Hlm. 21–29

Post a Comment for "Pengaruh Salinitas Terhadap Budidaya Udang Windu (Limnologi Atau Limnology) "