Dunaliella salina; Klasifikasi, Morfologi, Habitat, Etc



Gambar Morfologi Mikroalga D. salina (Ramos, et al., 2011).

 

Klasifikasi Dunaliella salina

Menurut Sakhtivel, et al. (2011), klasifikasi dari D. salina adalah sebagai berikut:


Kingdom : Plantae

Phylum : Chlorophyta

Class : Chlorophyceae

Order : Volvocales

Family : Dunaliellaceae

Genus : Dunaliella

Spesies Dunaliella salina

 

Morfologi Dunaliella salina

D. salina merupakan mikroalga uniseluler halophilic yang memiliki lapisan mucus berupa mantel tetapi tidak memiliki dinding sel (Lin, et al., 2014). D. salina memiliki dua buah flagella, berasal dari kelas chlorophyceae (Alisahi, et al., 2014) dan memiliki daya gerak (Jayappriyan, et al., 2013). Karakteristik utama dari mikroalga ini yang membedakannya dengan mikroalga lainnya adalah tidak adanya dinding sel poliskararida (Macias-Sanchez, et al., 2009). Meskipun demikian, D. salina dilapisi oleh mantel glikoprotein yang disebut glycocalyx dengan panjang antara 5-25µm dan lebar 3-13µm (Ramos, et al., 2011). Mikroalga D. salina memiliki ukuran sel dengan panjang berkisar antara 9-11µm (AbuSara, et al., 2011). Pada lingkungan laut, mikroalga D. salina terlihat berwarna hijau, akan tetapi pada kondisi dengan salinitas dan intensitas cahaya yang tinggi, mikroalga ini berubah warna menjadi merah (Dhanam dan Dhandayuthapani, 2013).


Habitat Dunaliella salina

Mikroalga D. salina merupakan salah satu organisme laut yang rentan terhadap perubahan atau tekanan ekologis sehingga menjadi sasaran utama terkena bahan-bahan pencemar seperti logam berat dan sebagainya (Balaira, et al., 2017). Mikroalga D. salina pertama kali ditemukan di pesisir Atlantik Prancis oleh Dunal pada tahun 1838, kemudian pada tahun 1905 diidentifikasi oleh Teodoresco dan diberi beri nama dunal. Genus Dunaliella merupakan alga hijau uniseluler yang habitatnya tersebar di lingkungan hipersaline (Amaninejad, et al., 2013). Spesies D. salina juga dapat ditemukan di lingkungan euryhaline pada semua benua (Ramos, et al., 2011). Faktor lingkungan yang diduga mempengaruhi kandungan pigmen, biomassa dan pertumbuhan sel mikroalga D. salina adalah salinitas (Zainuddin, 2017).

 

Menurut Alisahi, et al. (2014), mikroalga D. salina merupakan mikroorganisme uniseluler yang memiliki dua flagella dan berasal dari kelompok alga hijau. Mikroalga D. salina tersebar luas dan dapat ditemukan di wilayah hipersalin. Mikroalga D. salina merupakan alga yang kaya akan kandungan β-karoten dan gliserol. Alga ini dapat menghasilkan β-karoten sampai 14% dari berat keringnya di bawah kondisi stress, seperti terlalu tingginya salinitas, suhu dan cahaya serta keterbatasan nutrisi.

 

Siklus Hidup dan Pertumbuhan Dunaliella salina

Mikroalga merupakan tumbuhan bersel tunggal, berkembang biak sangat cepat dengan daur hidup relatif pendek. Mikroalga dapat tumbuh jauh lebih cepat dengan hanya membutuhkan media tumbuh yang lebih sedikit. Mikroalga biasanya menggandakan dirinya sekitar 24 jam sekali, namun pada fase eksponensial biasanya lebih singkat yaitu hanya 3,5 jam sekali (Darsi, et al., 2012). Sementara pada saat melakukan kultur, pemanenan mikroalga D. salina dilakukan pada fase stasioner dengan menggunakan modifikasi flokulan yaitu metode pengendapan yang menggunakan NaOH (Zainuddin, et al., 2017). Berikut adalah fase-fase pertumbuhan pada mikroalga D. salina menurut Astrid, et al. (2013).


1.  Fase adaptasi, merupakan fase istirahat dimana populasi mikroalga tidak mengalami pertambahan. Fase adaptasi terjadi pada hari pertama dan kedua karena tidak terjadi penurunan jumlah D. salina.


2. Fase eksponensial, merupakan fase yang tejadi setelah fase adaptasi yang ditandai dengan pembelahan sel-sel baru dan laju pertumbuhan tetap. Pertumbuhan D. salina pada fase eksponensial ditandai dengan adanya peningkatan yang sangat cepat dari jumlah populasi D. salina yang dimulai pada hari pertama pengamatan sampai puncak populasi. Fase ini biasanya tejadi pada hari kedua dan ketiga.


3. Fase penurunan relatif, merupakan fase yang terjadi setelah fase logaritmik. Pada fase ini jumlah kematian lebih kecil dibandingkan pertumbuhannya sehingga penurunan grafik tidak signifikan. Puncak populasi ada pada fase penurunan relatif pada perlakuan A, B, C, dan K terjadi pada hari ketiga, sedangkan perlakuan D dan E puncak populasi terjadi pada hari kelima.


4. Fase stasioner, merupakan fase yang terjadi setelah fase berkurangnya pertumbuhan relatif. Fase ini ditandai dengan pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian dalam arti pemberian dan pengurangan plankton relatif sama atau seimbang sehingga kepadatan fitoplankton cenderung tetap. Fase stasioner biasanya tejadi pada jam kultur ke-84 (Yarti, et al., 2014).

 

Kandungan β-karoten pada D. salina akan mengalami peningkatan selama fase stasioner karena β-karoten yang dihasilkan akan digunakan untuk bertahan hidup (Zainuri, et al., 2006).


5. Fase kematian, merupakan fase yang ditandai degan penurunan jumlah/ kepadatan mikroalga yang lebih cepat dari laju reproduksi. Pada fase ini jumlah sel menurun secara geomtrik yang dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya, temperatur dan umur plankton. Fase kematian biasanya terjadi pada hari ke-6 setelah tejadi puncak populasi.


Faktor pertumbuhan mikroalga mempengaruhi hasil biomassa maupun jenis produk yang diinginkan. Terkadang biomassa yang sedikit menghasilkan produk yang diinginkan dalam jumlah banyak, untuk itu diperlukan optimasi komposisi yang seimbang antara banyaknya biomassa dan banyaknya produk dalam biomassa mikroalga. Beberapa faktor penting bagi produksi mikroalga skala massal di antaranya intensitas cahaya, suhu, media pertumbuhan, pH dan salinitas. Beberapa penelitian menyatakan bahwa salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan akumulasi pigmen yang terbentuk (Nur, 2014). Peningkatan salinitas dari 15-30% telah terbukti efektif dalam peningkatan produksi β-karoten pada alga (Amaninejad, et al., 2013).

 

Kandungan dan Potensi Mikroalga Dunaliella salina

Salah satu manfaat alga yang dapat memproduksi agen antivirus telah banyak diketahui. Akan tetapi hanya beberapa penelitian saja yang telah membuktikan bahwa adanya komponen penghambat infeksi virus pada mikroalga laut (Santoyo, et al., 2012). D. salina merupakan mikroalga laut yang mengandung komponen utama yaitu karotenoid, terutama kandungan trans β-karoten sebesar 50%, 9-cis-β-karoten sebesar 40% dan cis isomer lain sebesar 10% (Ammar, et al., 2012). Pigmen karotenoid mengandung aktivitas antioksidan pada hewan akuatik, selain itu juga dapat meningkatkan fungsi imun dan meningkatkan resistensi penyakit pada hewan tingkat tinggi (Madhumathi dan Rengasamy, 2011). D. salina mampu mengakumulasi kandungan β-karoten sebesar 95% dari total karotenoid yang dihasilkannya, sehingga D. salina dalam bidang budidaya akuakultur dapat dimanfaatkan sebagai zat antioksidan dan pewarna adiktif. Karotenoid dibutuhkan oleh larva udang untuk perlindungan intrasel melalui stabilitas membran, survival dan pertumbuhan dengan membuang radikal oksigen bebas (Yunanto, et al., 2013). Berikut adalah kandungan kimia yang terdapat pada mikroalga D. salina dan mikroalga lain yang berpotensi dijadikan sebagai kandidat antivirus disajikan pada Tabel seperti berikut.


Tabel Perbandingan Kandungan Mikroalga D. salina dengan Mikroalga lain



Mikroalga Dunaliella sp. merupakan salah satu mikroalga yang memiliki kandungan β-karoten alami terbanyak (Diana, et al., 2014). Pada kondisi stress atau dibawah tekanan, D. salina mampu menghasilkan 400 mg β-karoten/m2, sehingga D. salina merupakan salah satu sumber β-karoten alami komersil di dunia (Jayappriyan, et al., 2013). Menurut Emeish (2012), mikroalga D. salina dengan berat kering sebesar 2,1 gram mengandung 5,8% β-karoten yakni 121,8 mg β-karoten. Hal ini serupa dengan pendapat Campo, et al. (2007), yang menyebutkan bahwa dalam 2 gram berat kering mikroalga D. salina mengandung 100 mg β-karoten, sehingga dalam 1 gram berat kering D. salina mengandung 50 mg β-karoten (Chen dan Jiang, 2009). Menurut Supamattaya, et al. (2005), bahwa pemberian β-karoten mikroalga D. salina sebanyak 300 mg β-karoten/kg pakan menghasilkan survival rate paling banyak dibandingkan perlakuan dosis lainnya pada ikan/udang yang diuji tantang dengan virus. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Diana, et al. (2014), menjelaskan bahwa pemberian pakan yang ditambahkan dengan D. salina dapat meningkatkan survival rate udang vannamei yang diinfeksi WSSV. Kelompok uji yang diberi pakan dengan tambahan D. salina sebanyak 1% dan 2% menunjukkan hasil survival rate yang tinggi yaitu sebanyak 80% dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mencapai 56%. Pakan ikan yang ditambahkan dengan Dunaliella sebagai sumber alami karotenoid menunjukkan nilai mortalitas yang rendah pada ikan yang diinveksi oleh virus. Namun, apabila dibandingkan dengan cantaxantin sintetik, β-karoten dari mikroalga D. salina memberikan pengaruh baik pada rainbow trout namun tidak signifikan dalam meningkatkan resistensi juvenil rainbow trout yang diinfeksi dengan virus IHNV (Amar, et al., 2012). Selain mengandung komponen utama karoten, mikroalga D. salina juga mengandung senyawa polisakarida sebanyak 12-40%. Polisakarida pada mikroalga D. salina diteliti dapat dimanfaatkan sebagai anti-tumor dan antivirus, meskipun penelitian mengenai hal tersebut masih jarang sekali (Dai, et al., 2010).

 

Penulis

Anissa Zalsabilla

Fpik Universitas Brawijaya Angkatan 2014

 

Publisher

Gery Purnomo Aji Sutrisno

Fpik Universitas Brawijaya Angkatan 2015

 

Daftar Pustaka

Abusara, N. F, S. Emeish dan A. J. Sallal. 2011. The effect of certain environmental factors on growth and ß-caroten production by Dunaliella sp. isolated from the Dead Sea. Jordan Journal of Biology Science. 4(1): 29-36.

Alisahi, M., M. Karamifar, M. Mesbah and M. Zarei. 2014. Hemato-immunological responses of Heros severus fed diets supplemented with different levels of Dunaliella salina. Fish Physiol Biochem. 40(1): 57-65.

Amaninejad, P., H. Emadi, M. Ematiazjoo and H. H. Sahhafi. 2013. Effects of Dunaliella microalgae (Dunaliella salina) on different level of IgM immunoglobulin in rainbow trout (Oncrohynchus mykiss). Global Journla of Biodiversity Science and Management. 3(2): 237-242.

Amar, E. C., V. Kiron. S. Satoh dan T. Watanabe. 2004. Enhancement of innate immunity in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum) associated with dietary intake of carotenoids from natural products. Fish and Shellfish Immunology. 16: 527-537.

Ammar, E. C., V. Kiron, T. Akutsu, S. Satoh and T. Watanabe. 2012. Resistance of rainbow trout Oncorhynchus mykiss to infectious hematopoietic necrosis virus (IHNV) experimental infection following ingestion of natural and synthetic carotenoids. Aquaculture. 330: 148-155.

Astrid, T., B. S. Rahardja dan E. D. Masitah. 2013. Pengaruh konsentrasi pupuk Lemna minor terhadap populasi Dunaliella salina. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 5(1): 61-66.

Campo, J. A. D., M. Garcia-Gonzalez and. M. G. Guerrero. 2007. Outdoor cultivation of microalgae for carotenoid production: current state and perspectives. Appl Microbiol Biotechnol. 74: 1163-1174.

Chen, H. And J. Jiang. 2009. Osmotic responses of Dunaliella to the changes of salinity. Journal of Cellular Physiology. 251-258.

Darsi, R., A. Supriadi dan A. D. Sasanti. 2012. Karakteristik kimiawi dan potensi pemanfaatan Dunaliella salina dan Nannochloropsis sp. Fishtech. 1(1): 14-25.

Dhanam, D. S. and K. Dhandayuthapani. 2013. Optimization of β-carotene production by marinemicroalga Dunaliella salina. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 2(3): 37-43.

Diana, M., Jose, A. L., Luis, R. M., Marco, A. L., Jorge, H. Martha, E. R. and M. Fernando. 2014. Evaluation of the productive and physiological responses of Litopenaeus vannamei infected with WSSV and fed diets enriched with Dunaliella sp. Journal of Invertebrate Pathology. 117: 9-12.

Emeish, S. 2012. Production of natural β-carotene from Dunaliella living in the Dead Sea. Jordan Journal of Earth and Environmental Sciences. 4(2): 23-27.

Jayappriyan, K. R., R. Rajkumar, V. Venkatakrishnan. S. Nagaraj adn R. Rengasamy. 2013. In vitro anticancer activity of natural β-carotene from Dunaliella salina EU5891199 in PC-3 cells. Biomedicine & Preventive Nutrition. 3: 99-105.

Lin, H., Chen, Y., Liu, C., Yang, D., Chen, S., Chang, T and Chang, Y. 2014. Regulation of virus-induced inflammatory response by Dunaliella salina alga extract in macrophages. Food and Chemical Toxicology. 71: 159-165.

Macias-Sanchez, M. D., C. Mantel, M. Rodriguez, E. M. de la Osa, L. M. Lubian and O. Montero. 2009. Comparison of supercritical fluid and ultrasound-assisted extraction of carotenoids and chlorophyll a from Dunaliella salina. Talanta. 77: 948-952.

Madhumathi, M. and R. Rengasamy. 2011. Antioxidant status of Penaeus monodon fed with Dunaliella salina supplemented diet and resistance against WSSV. International Journal of Engineering Science and Technology. 3(10): 7249-7159.

Nur, M. M. A. 2014. Potensi mikroalga sebagai sumber pangan fungsional di Indonesia (overview). Eksergi. 6(2): 1-6.

Ramos, A. A., J. Polle, D. Tran, J. C. Cushman, E. Jin and J. C. Varela. 2011. The unicellular green alga Dunaliella salina Teod. as a model for abiotic stress tolerance: genetic advances and future perspectives. Algae. 26(1): 3-20.

Ramos, A. A., J. Polle, D. Tran, J. C. Cushman, E. Jin and J. C. Varela. 2011. The unicellular green alga Dunaliella salina Teod. as a model for abiotic stress tolerance: genetic advances and future perspectives. Algae. 26(1): 3-20.

Santoyo, S., L. Jaime, M. Plaza, M. Herreo, I. Rodriguez-meizoso, E. Ibanez and G. Reglero. 2012. Antiviral compounds obtained from microalgae commonly used as carotenoid sources. J. Appl Phycol. 24: 731-741.

Supamattaya, K., S. Kiriratnikom, M. Boonyaratpalin dan L. Borowitzka. 2005. Effect of a Dunaliella extract on growth performance, health condition, immune response and disease resistance in black tiger shrimp (Panaeus monodon). Aquaculture. 248: 207-216.

Yarti, N., M. Muhaemin dan S. Hudaidah. 2014. Pengaruh salinitas dan nitrogen terhadap kandungan protein total Nannochloropsis sp. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 2(2): 274-278.

Yunanto, Y., H. P. Kusumaningrum dan S. Pujiyanto. 2013. Fusi protoplas interspesies Chlorella pyrenoidosa dan Dunaliella salina. Jurnal Sains dan Matematika. 21(1): 15-30.

Zainuddin, M. 2017. Aktivitas antioksidan biopigmen Dunaliella salina pada media kultur hiposlin dan hipersalin. Jurnal Enggano. 2(1): 25-38.

Zainuri, M., H. P. Kusumaningrum and E. Kusdiyantini. 2006. Microbiological and ecophysiological characterization of green algae Dunaliella sp. for improvement of carotenoid production. Faculty of Fisheries and Marine Sciences. Diponegoro University. p 1-12.

Post a Comment for "Dunaliella salina; Klasifikasi, Morfologi, Habitat, Etc"