Histopatologi Limfoid Udang Vaname Yang Diinfeksi WSSV


Udang vaname (Litopenaeus vannamei) saat ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Para pembudidaya sudah banyak beralih ke udang vaname karena merupakan komoditas ekspor serta memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi. Produksi udang vaname juga menunjukkan peningkatan. Pada periode tahun 2009 – 2013, menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013) produksi udang vaname mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai 170.969 ton. Pada tahun 2010, mengalami peningkatan menjadi sebesar 205.578 ton. Pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing mengalami peningkatan menjadi sebesar 246.420 dan 251.763 ton. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan produksi yang cukup besar yakni menjadi sebesar 386.314 ton.

Udang vaname (L. vannamei) adalah salah satu spesies udang yang bernilai ekonomis dan merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Udang vaname memiliki beberapa kelebihan udang vaname yaitu bersifat euryhaline, udang ini mampu hidup pada perairan dengan salinitas sekitar 0,5-45 0⁄00 , dan waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus (Hudi dan Shahab 2005). Udang vaname juga memiliki nafsu makan yang tinggi dan dapat memanfaatkan kadar protein rendah dengan kadar 20%-35% (Briggs, et al., 2004), sehingga pada sistem budidaya dengan pola semi intensif biaya pakan dapat diminimalisir (Burhanuddin, 2009). Karena keunggulan-keunggulannya tersebut, udang vaname ini memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan.

Udang vaname juga memiliki kelemahan, salah satunya juga sering terserang berbagai penyakit. Menurut Arafani, et al. (2016), pada budidaya udang vaname kemunculan penyakit merupakan kerugian besar, berbagai penyakit akibat infeksi bakteri dan virus menyebabkan budidaya terganggu. Virus bercak putih atau white spot syndrome virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam industri tambak udang dan di seluruh dunia. Penyakit WSSV pada udang menyebabkan gagal panen, menurunkan minat petambak untuk melakukan budidaya udang, serta mematikan tambak-tambak produktif.

WSSV memiliki kemampuan menimbulkan penyakit (virulensi) yang sangat tinggi. Virus ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 3 sampai 10 hari penyerangan (Wang, et al., 2007). Penyakit bintik putih telah diketahui disebabkan oleh virus WSSV melalui teknik deteksi menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) yang telah dikembangkan untuk diagnosa cepat agar dapat mencegah penyebaran virus pada sistem budidaya.

Analisis histopatologi juga perlu dilakukan guna melihat tingkat kerusakan sel akibat infeksi WSSV. Menurut Pratiwi dan Manan (2015), Kepentingan pemeriksaan histopatologi dalam diagnosa penyakit infeksi selain diketahui kemungkinan penyebab infeksinya, juga dapat dilihat dari peradangan dan infiltrasi sel radang yang ada. Maka dari itu perlu melakukan analisis histopatologi pada udang yang terinfeksi WSSV guna mengetahui kerusakan sel yang disebabkan oleh virus.

RUMUSAN MASALAH
Virus WSSV penyebab kerugian besar pada tambak udang vaname sehingga perlu adanya deteksi dini sehingga mencegah kerugian yang lebih besar akibat serangan virus white spot. Gejala klinis serangan virus dapat diamati berupa adanya bintik-bintik putih pada karapas, warna kemerahan di kepala maupun ujung ekor.

Penanganan yang dilakukan untuk udang yang telah terinfeksi virus dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR mampu mendeteksi keberadaan virus pada udang budidaya sehingga bisa dilakukan tindakan yaitu panen total pada kolam pemeliharaan udang sehingga mencegah penularan ke kolam lainnya.

Infeksi virus juga dapat dilihat melalui uji histopatologi. Gambaran jaringan organ udang akan menunjukkan mengenai tingkat kerusakan yang disebabkan oleh virus WSSV. Jaringan yang diamati adalah organ limfoid yang merupakan organ pembentuk sistem pertahanan dalam melawan patogen pada tubuh udang vaname, analisis histopatologi tingkat kerusakan sel akibat WSSV perlu dilakukan.

Dari uraian tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) mempengaruhi histologi organ limfoid udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang dilihat dari tingkat kerusakan selnya serta gejala klinis pasca infeksi.

TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologi organ limfoid udang vaname (Litopenaeus vannamei) pasca infeksi WSSV dan mengetahui gejala klinis pasca infeksi virus WSSV.

HIPOTESIS
Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Diduga infeksi virus WSSV tidak berpengaruh terhadap histologi organ limfoid dan gejala klinis udang vaname (Litopenaeus vannamei).
H1 : Diduga infeksi virus WSSV berpengaruh terhadap histologi organ limfoid dan gejala klinis udang vaname (Litopenaeus vannamei).

KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tentang kerusakan sel organ limfoid pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis 10^2, 10^3 dan 10^4 serta mengetahui gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi virus.

TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Kesehatan Hewan Akuatik Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 08 Januari – 28 Februari 2019.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Klasifikasi udang vaname menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah sebagai berikut:
Phylum       : Arthropoda
Class          : Crustacea
Subclass    : Malacostracea
Seri            : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo           : Decapoda
Subordo     : Dendrobrachiata
Infraordo    : Penacidea
Superfamily : Pecidea
Family        : Penaeidae
Genus        : Penaeus
Subgenus  : Litopenaeus
Spesies     : Litopenaeus vannamei
Menurut Manoppo (2011), tubuh udang vaname berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai white shrimp. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya. Panjaitan (2012) menambahkan bahwa udang vaname mempunyai tubuh beruas-ruas seperti udang penaeid lainnya, dimana pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Udang vaname termasuk ordo decapoda yang dicirikan memiliki sepuluh kaki terdiri dari lima kaki jalan dan lima kaki renang. Tubuh udang vaname secara morfologis dibedakan menjadi dua bagian yaitu cephalotorax atau bagian kepala dan dada serta bagian abdomen atau perut. Bagian cephalotorax terlindung oleh kulit chitin yang tebal disebut carapace. Secara anatomi cephalotorax dan abdomen terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. Morfologi udang vaname dapat dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1. Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) (Megawati, 2017)

HABITAT UDANG VANAME (L. VANNAMEI)
Habitat udang vaname usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai. Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang menunjukan tingkat usai. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5 tahun. Pada waktu musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya atau calon spawner berbondong-bondong ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50 meter untuk melakukan perkawinan. Udang dewasa biasanya berkelompok dan melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang (Nadhif, 2016).

Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Udang vaname dapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang sangat rendah (Manoppo, 2011).

SIKLUS HIDUP
Siklus hidup udang vaname sejak telur mengalami fertilisasi dan lepas dari tubuh induk betina menurut Wyban dan Sweeney (1991), akan mengalami berbagai macam tahap, yaitu:

NAUPLIUS
Stadia nauplius terbagi atas enam tahapan yang lamanya berkisar 46-50 jam. Larva berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaan belum sempurna, memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga tidak membutuhkan makanan dari luar.

ZOEA
Stadia zoea terbagi atas tiga tahapan, berlangsung selama sekitar 4 hari. Larva zoea berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini larva mengalami molting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dan zoea 3. Stadia zoea sangat peka terhadap perubahan lingkungan terutama kadar garam dan suhu air. Zoea mulai membutuhkan makanan berupa fitoplankton.

MYSIS
Stadia mysis terbagi atas tiga tahapan, yang lamanya 4-5 hari. Bentuk udang stadia mysis mirip udang dewasa, bersifat planktonis dan bergerak mundur dengan cara membengkokkan badannya. Udang stadia mysis mulai menggemari pakan berupa zooplankton, misalnya Artemia salina.

POST LARVA
Pada stadia post larva sudah seperti udang dewasa. Hitungan stadia berdasarkan hari, misalnya PL1 berarti post larva berumur satu hari. Stadia larva ditandai dengan tumbuhnya  pleopoda yang berambut (setae) untuk renang. Stadia larva bersifat bentik atau organisme penghuni dasar perairan, dengan pakan yang disenangi berupa zooplankton. Siklus hidup udang vaname dapat dilihat pada Gambar 2.


Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) (Nadhif, 2016)

PENYAKIT YANG BIASA MENYERANG UDANG VANAME (L. VANNAMEI)
Pada budidaya udang vaname penyakit yang biasa menyerang diakibatkan oleh virus. Virus merupakan salah satu jenis patogen obligat murni dengan salah satu ciri utama organisme ini tidak dapat hidup secara bebas di alam. Untuk kehidupannya virus ini tergantung sepenuhnya pada inangnya. Sifat virus yang demikian menyebabkan organisme ini mempunyai daya serang yang cukup kuat. Penyakit viral merupakan masalah serius pada budidaya udang ditambak karena dalam waktu relativ singkat dapat menyebabkan kematian. Virus yang menyerang udang ditambak antara lain Monodon Baculo Virus (MBV), Hepatopancreatic Parvolike Virus (HPV), Yellow Head Baculovirus (YBH), Infection Hypo dermal and Hematopoetic Necrosis Virus (IHHNV), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV) (Kilawati dan Maimunah, 2015).

Akhir-akhir ini telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus pada komoditas udang di Indonesia yang saat ini sering disebut dengan penyakit bercak putih atau white spot syndrome virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di tambak sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih, yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun rupiah per-tahun (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006).

WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV)

KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI
White spot syndrome virus atau virus penyebab bercak putih ini diberi nama system ectodermal and mesodermal baculovirus karena virus ini menyerang organ yang berasal dari jaringan ektodermal dan mesodermal (Takashi, et al., 1994). WSSV merupakan patogen yang paling serius menyerang udang dan telah menghancurkan industri perudangan di berbagai negara. Virus tersebut sangat ganas dan sangat sulit dihentikan. WSSV menyebabkan kematian 100% sejak gejala klinis muncul.
Menurut Vlak, et al. (2002), berdasarkan pendeteksian virus, virus ini tergolong ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Famili         : Nimriviridae
Genus        : Whisporus
Spesies     : White spot syndrome virus (WSSV)
Nama Nimaviridae berasal dari bahasa latin yang berarti 1 benang atau perpanjangan pada ujung partikel virus yang berbentuk seperti ekor. Keberadaan ekor dan adanya perulangan pada genom DNA inilah yang membuat mirip dengan kelompok baculovirus, namun secara filogenetik DNA Nimaviridae berbeda dengan DNA virus pada umumnya. virus ini diberi nama Baciliform virus karena virus ini berbentuk batang dengan ukuran 83-275 nm (Wijayanti, 1999). Virus WSSV perbesaran 1000x dapat dilihat pada Gambar 3.


Gambar 3. Virus WSSV (White Spot Syndrome Virus) (Budiwardhani., 2018)

MEKANISME SERANGAN WSSV
Mekanisme terjadinya infeksi virus sampai menimbulkan penyakit yang meliputi infeksi virus untuk menginfeksi suatu sel, Menurut Malole (1988), pertama- tama virus harus kontak dengan permukaan sel, lalu masuk ke dalam dinding sel. Pada studi patogenik menunjukkan bahwa infeksi WSSV merusak hepatopankreas, jaringan usus, insang, dan limfoid pada udang. Konsentrasi penyerangan WSSV adalah organ limfoid yang berfungsi sebagai penghasil getah bening dalam proses imunitas tubuh udang, hal inilah yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh udang sangat cepat jika terkena penyakit ini (Bower, 1996).

Gejala White spot berupa awalnya bintik putih di kulit. Namun bintik ini berkembang semakin banyak diikuti pula dengan melebarnya bintik tersebut membentuk bercak. Sedangkan menurut Wang, et al. (1998), batas bintik-bintik putih atau tambalan agak putih yang mengelilingi kutikula terlihat pertama kali pada karapas dengan segmen abdominal ke-5 dan ke-6 kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Udang yang terinfeksi, batas selnya tidak jelas karena terjadi peluruhan atau rusak. Sementara dengan bantuan mikroskop lapisan inti sel berupa titik-titik berwarna hitam pekat dan inti sel yang akhirnya sel pecah (Rahayu, 2002). Bintik putih akibat serangan WSSV Gambar 4.


Gambar 4. Bintik Putih Akibat Serangan WSSV (Effendi, 2018)

SISTEM PERTAHANAN TUBUH UDANG
Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada udang, jaringan limfoid menyatu dengan jaringan mieloid, sehinga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon immunitas baik seluler maupun humoral (Itami, 1994). Darah udang tidak mengandung haemoglobin, sehingga darahnya tidak berwarna merah. Peranan haemoglobin digantikan oleh haemosianin yaitu protein yang mengandung senyawa Cu dan berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh (Maynard, 1960). Hemosit merupakan sel darah udang yang memiliki fungsi sama seperti sel darah putih pada hewan vertebrata (Fariedah, 2010). Sel hemosit berperan dalam respon imun non spesifik pada udang (Alifuddin, 2002).

Sistem imun udang merupakan sistem imun non spesifik dikarenakan tidak memiliki immunoglobulin dan T-limfosit yang dapat mendeteksi adanya benda asing yang masuk. Udang memiliki respons imunitas non spesifik yang meliputi sistem pertahanan secara seluler dan humoral (Ode, 2013). Sistem pertahanan seluler dengan cara fagosit sel-sel hemosit, nodulasi dan enkapsulasi, sedangkan sistem pertahanan humoral dilakukan oleh phenoloksidase (PO), prophenoloksidase (proPO), letin dan aglutinin. Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat diketahui dari meningkatnya aktivitas fagositosis sel hemosit (Putri, et al., 2013). Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan (ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. Proses enkapsulasi berawal dari sel hemosit mengelilingi tubuh benda asing, bagian sel terluar dari hemosit tetap berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datar dan pada fase berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat dan keras. Kapsul tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun sudah tidak ada hemosit yang dikenal (Manoppo dan Kolopita, 2014). Hemosit juga memiliki enzim yang diperlukan untuk mengatur kaskade proteolitik dalam penghentian rangsangan dan kerusakan jaringan yang dihasilkan oleh patogen (Aguirre-Guzman, et al., 2009).

METODE DETEKSI VIRUS
Diagnosa penyakit atau deteksi virus perlu dilakukan guna mengetahui virus apa yang menyebabkan kematian pada kolam budidaya. Metode yang dapat dilakukan dengan metode molekuler yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR) Deteksi secara molekuler merupakan metode deteksi yang sangat sensitif dan spesifik, namun prosedur analisisnya mulai dari ektraksi DNA/RNA, amplifikasi dan elektroforesis harus dikerjakan secara aseptis di dalam laboratorium yang terkontrol dan memerlukan alat laboratorium yang khusus dan rumit. (Koesharyani dan Gardenia, 2015).

Metode deteksi lain yaitu dengan melihat kerusakan sel jaringan organ melalui analisis histopatologi. Pemeriksaan ini dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan. Pemeriksaan disertai dengan pengetahuan tentang gambaran histologi normal jaringan dan patologi. Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosa penyakit infeksi selain diketahui kemungkinan penyebab infeksinya, juga dapat dilakukan klasifikasi penyakit berdasarkan waktu dan distribusi penyakit. Dalam penentuan penyebaran infeksi dan tingkat keberlangsungan infeksi dapat dilihat dari peradangan dan infiltrasi sel radang yang ada (Pratiwi dan Manan, 2015).

PENGERTIAN HISTOLOGI DAN HISTOPATOLOGI
Menurut Harjana (2011), histologi mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan dan sel dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia. Zat-zat kimia di dalam jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia yang menghasilkan senyawa berwarna tak dapat larut, diamati dengan mikroskop cahaya. Jaringan adalah kumpulan dari sel-sel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Histopatologi merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik dimana dalam pengamatan histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk gambaran perubahan organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui ada atau tidak infeksi penyakit serta untuk meramalkan proses kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu penyakit. Infeksi suatu penyakit baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dapat didiagnosa dengan beberapa cara, diantaranya dengan diagnosa secara histopatologi yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang penyakit (Pazra, 2008).

ANALISIS HISTOPATOLOGI
Menurut Setyowati, et al. (2012), analisa histopatologi dapat digunakan sebagai biomarker untuk mengetahui kondisi kesehatan udang melalui perubahan struktur yang terjadi pada organ-organ yang menjadi sasaran utama dari bahan pencemar seperti insang, limfoid, hepatopankreas, usus dan sebagainya. Selain itu, penggunaan biomarker histopatologi dapat digunakan dalam memonitoring lingkungan dengan mengamati organ-organ tersebut yang memiliki fungsi penting dalam metabolisme tubuh sehingga dapat digunakan sebagai diagnosis awal terjadinya gangguan kesehatan pada suatu organisme.

Persiapan jaringan melalui tahap fiksasi, pemotongan jaringan, pelabelan specimen, refiksasi, dan deklasifikasi. Selanjutnya, pengolahan jaringan dilakukan dengan tahap dehidrasi, penjernihan, penyusupan parafin dan pembuatan blok. Jaringan berparafin dalam bentuk blok yang akan dibuat irisan tipis jaringan dengan mikrotom sehingga menjadi preparat yang dapat diwarnai dengan beberapa jenis pewarna jaringan, seperti pewarnaan hematoksilin eosin, giemsa dan lain-lain (Panigoro, et al., 2007).

ORGAN LIMFOID
Organ limfoid pertama kali diperkenalkan oleh Masao Oka pada tahun 1969, yang terdapat pada Penaeus orientalis sehingga organ limfoid juga sering disebut dengan organ oka. Hasil penelitian Alifuddin (2002) menjelaskan bahwa organ oka ini terdiri dari dua lobus, terletak di dorso-anterior hepatopankreas dan ventro-lateral labung anterior dan posterior. Diperjelas menurut Lu, et al. (1995) organ limfoid memilliki letak yang unik dan relatif kecil, sehingga tidak mudah untuk identifikasi dan pemotongan organ, apalagi ketika udang yang digunakan ukurannya kurang dari 10 gram. Nuryati (2000) mengatakan bahwa organ limfoid terletak di bagian depan hepatopankreas. Organ ini terdiri atas dua lobus yang menyatu membentuk bulatan dengan diameter kira-kira 3 mm berwarna putih.

Berdasarkan observasi yang dilakukan adanya pembuluh aferen dan eferen pada organ limfoid. Pembuluh aferen dihubungkan oleh arteri antena yang membagi dua dan menjadi pusat dari tubula. Organ limfoid pada krustasea memainkan peran penting dalam respon imun. Organ ini diketahui sebagai pusat akumulasi benda-benda asing yang masuk ke tubuh udang termasuk patogen (Oka, 1969). Letak Organ Limfoid Udang Vaname dapat dilihat pada Gambar 5.


Gambar 5. Letak Organ Limfoid Udang Vaname (Prayugi, 2014)

PARAMETER YANG DIAMATI

PENGAMATAN HISTOPATOLOGI
Karakteristik histopatologi udang yang terinfeksi WSSV yaitu adanya pembesaran inti sel pada jaringan organ yang terinfeksi. Kerusakan sel yang terlihat melalui pengamatan histopatologi adalah adanya pembengkakan yang terjadi pada inti sel (hipertropi). Keadaan ini disebabkan perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam nukleus (Baidi, 2002).

Serangan WSSV menyebabkan Inti sel akibat infeksi WSSV bergerak ke pinggir (karyoreksis) hingga terjadi karyolisis. Inti sel yang membengkak akan menekan cairan sel sehingga menyebabkan sel pecah karena penekanan inti sel. Inti sel yang pecah bercampur dengan pecahan inti sel lain yang bersebelahan menimbulkan runtuhan sel (debris), hal ini menyebabkan rusaknya fungsi organ sampai akhirnya menyebabkan kematian pada udang tersebut (Rocman, 1995). Organ limfoid udang normal, dan Organ Limfoid udang terinfeksi WSSV terjadi pembengkakan inti sel (hipertropi) dapat dilihat pada  Gambar 6.


Gambar 6. (a) Limfoid Udang Normal, (b) Limfoid Udang Terinfeksi WSSV inti sel membengkak (hipertropi). (Ochoa-Meza, et al., 2018)

GEJALA KLINIS SERANGAN WSSV
Infeksi virus WSSV akan menunjukkan gejala klinis meliputi perubahan fisiologis, tingkah laku, dan morfologis. Parameter fisiologis dan tingkah laku yaitu meliputi nafsu makan, aktivitas berenang, perubahan warna tubuh udang, serta dihitung udang yang mati selama pemeliharaan. Selain itu, diamati ciri-ciri morfologisnya yang meliputi warna tubuh, kelainan bentuk tubuh maupun warna pada rostrum, karapas maxiliped, antena, antenula, periopod, pleopod, hepatopankreas, telson dan uropod serta kelengkapan organnya. Gejala klinis muncul akibat infeksi virus (Subkhan, et al., 2005).

Udang yang terserang WSSV juga akan menunjukan gejala klinis berupa nafsu makan berkurang, lemah, bagian tubuh berwarna kemerahan dan bintik putih, serta lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996). Gejala klinis yang timbul pada udang vaname karena infeksi WSSV dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Gejala Klinis Udang yang Terinfeksi WSSV (Arafani, et al., 2016)

KELANGSUNGAN HIDUP (SURVIVAL RATE)
Menurut Usman dan Rochmady (2017), kelangsungan hidup merupakan kemampuan udang bertahan hidup selama waktu tertentu. Kelangsungan hidup ditunjukkan oleh individu yang hidup hingga akhir pemeliharaan. Tingkat kelangsungan hidup udang masa pemeliharaan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adalah kepadatan, kuantitas dan kualitas pakan, lingkungan budidaya maupun faktor lainnya. Kepadatan udang yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya kelangsungan hidup udang, sebagai akibat dari adanya sifat kanibal udang. Dalam pemeliharaan udang juga perlu penanganan yang serius dalam hal pemberian pakan, dan pengelolaan kualitas air.

Kelangsungan hidup digunakan untuk mengetahui kelulushidupan udang di akhir masa pemeliharaan. Menurut Susilowati, et al. (2014), kelangsungan hidup udang dihitung dengan membandingkan jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian dan jumlah udang di awal penelitian. Penentuan kelangsungan hidup udang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Keterangan:
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt   = Jumlah udang yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0  = Jumlah udang pada awal pemeliharaan (ekor).

KUALITAS AIR

SUHU
Suhu air sangat dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang jatuh ke permukaan air yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi diserap dalam bentuk energi panas. Pengukuran suhu sangat perlu untuk mengetahui karakteristik perairan. Suhu memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), suhu yang optimal untuk pertumbuhan udang antara 26-320C.

SALINITAS
Salinitas merupakan jumlah garam yang terlarut di dalam air. Salinitas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pasang surut, penguapan, curah hujan dan topografi perairan. Udang vaname merupakan spesies yang toleran terhadap salinitas  bersifat euryhaline Salinitas yang baik untuk pemeliharaan udang vaname berkisar antara 24-32 ppt (Adisukresno, 1990).

POTENSIAL HIDROGEN (PH)
Potensial hidrogen (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen perairan. Pengukuran pH akan mengungkapkan jika larutan bersifat asam atau alkali (basa). Jika larutan tersebut memiliki jumlah molekul asam dan basa yang sama, pH dianggap netral. Pada budidaya udang vaname, Sumeru dan Anna (1992), berpendapat bahwa pH air yang baik untuk pemeliharaan dan pembesaran udang vaname berkisar 7,0–8,5.

OKSIGEN TERLARUT (DISSOLVED OXYGEN)
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) adalah sejumlah oksigen yang terlarut dalam suatu perairan. Nilai DO dapat diukur dari jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu perairan. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan perairan tersebut memiliki kualitas air yang bagus. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah fitoplankton, aerator dan tumbuhan air. Kadar oksigen terlarut untuk pertumbuhan udang vaname Menurut Amri dan Kanna (2008) berkisar antara 4-7 ppm.

ALAT-ALAT PENELITIAN
Alat-alat beserta fungsi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 1) sebagai berikut.

Tabel 2. Alat-alat Penelitian
Alat  
Fungsi
Bak Kontainer 150 L
Untuk wadah media hidup udang.
Selang aerator
Untuk perantara untuk menyuplai oksigen.
Batu aerasi
Untuk memecah gelembung oksigen.
Seser
Untuk membantu mengambil udang.
Bak fiber
Untuk menampung air laut.
pH meter
Untuk mengukur kadar pH selama pemeliharaan.
Thermometer
Untuk mengukur suhu selama pemeliharaan.
DO meter
Untuk mengukur kadar DO selama pemeliharaan.
Pipa paralon
Untuk mengalirkan oksigen dari blower ke seluruh bak kontainer.
Blower
Untuk menyuplai oksigen ke seluruh bak.
Autoklaf
Untuk mensterilisasi alat-alat yang digunakan.
Botol sprayer
Untuk wadah alkohol 70%.
Timbangan digital
Untuk menimbang berat pakan.
Nampan
Untuk wadah alat dan bahan.
Oven
Untuk mencairkan gel agarose.
Sectio set
Untuk alat proses pembedahan sampel.
Botol film
Untuk menyimpan organ setelah udang dibedah.
Sterofoam
Untuk wadah saat transportasi udang.
Mikroskop binokuler
Untuk membantu melihat dan menganalisis hasil histopatologi.
Freezer suhu -80ºC
Untuk menyimpan sampel uji
Tissue prosesor
Untuk wadah larutan alkohol bertingkat, xylol serta parafin pada proses dehidrasi dan clearing.
Slide drying
Untuk membantu mengeringkan slide setelah ditempeli potongan jaringan.
Pisau mikrotom
Untuk memotong sediaan jaringan yang telah diparafin.
Cassette
Untuk tempat meletakkan organ pada proses pembuatan preparat histopatologi.
Objek glass
Untuk meletakkan organ yang telah dipotong.
Waterbath
Untuk wadah air panas yang berfungsi untuk meletakkan hasil potongan histologi.
Wax dispenser
Untuk wadah parafin pada saat proses blocking
Sentrifuge
Untuk memisahkan antara supernatan dan residu.
Thermall Cycler
Untuk penggandaan DNA dan RNA.
Inkubator
untuk inkubasi sampel yang di PCR.
Laminary Air Flow
Untuk tempat melakukan kegiatan ekstraksi DNA proses PCR
Vortex Mixer
Untuk menghomogenkan sampel.
Mikropipet
Untuk memindah larutan sampel skala micro.
Cetakan agar
Untuk pembuatan sumur pada agarose.
Ember
Untuk memindah udang ke bak kontainer.
Pelet pastel
Untuk menghaluskan sampel saat ekstraksi DNA.
Spin down
Untuk perlakuan putaran agar seluruh komponen berada di bawah tabung.
Bunsen
Untuk tempat spiritus.
Blue tip
Untuk memindahkan larutan.
Tangki elektroforesis
Untuk menghantarkan arus listrik dan terjadi running DNA target.
UV transimmulator
Untuk menvisualkan DNA setelah di loading atau running dalam DNA elektroforesis.
Toples supernatan
Untuk tempat pembuangan supernatan.
Saringan sampel
Untuk menyaring benur udang.
Mikrotube
Untuk tempat sampel yang akan di ekstraksi.
Refraktometer
Untuk alat ukur salinitas perairan.
Spuit 1 ml
Untuk menginjeksikan virus pada udang
Tube
Untuk wadah inolulum WSSV.
Saringan miliophore
Untuk menyaring inokulum virus.


BAHAN-BAHAN PENELITIAN
Bahan-bahan beserta fungsi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3 (Lampiran 2) sebagai berikut.

Tabel 3. Bahan-bahan Penelitian
Bahan-bahan
Fungsi
Udang vaname size 50
Sebagai sampel yang diamati.
Air laut
Sebagai media hidup udang.
Kaporit
Sebagai bahan sterilisasi air.
Na-thiosulfat
Sebagai penetral kaporit.
Alkohol 70%
Sebagai pengkondisian aseptis.
Tisu
Sebagai pembersih alat-alat yang telah digunakan.
Isolat WSSV
Sebagai bahan untuk perlakuan infeksi
PBS
Sebagai bahan untuk mempertahankan konsistensi pH pada isolat virus.
Akuades
Sebagai pemudar warna.
Kantong plastik
Sebagai tempat sampel udang.
GT buffer
Sebagai penjaga struktur DNA selama proses Penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan penghilangan protein dan  RNA.
Bubuk agarose
Sebagai bahan pembuat gel agarose.
Larutan TBE
Sebagai perendaman  gel agarose selama proses elektroforesis.
Nuclease free water
Sebagai pelarut saat ekstraksi DNA.
Sarung tangan
Sebagai pelindung tangan.
Alkohol 70 %
Sebagai peluruh lemak dan protein.
Larutan Etbr
Sebagai bahan yang digunakan untuk memvisualisasi potongan-potongan DNA selama proses elektroforesis.
Tisu
Sebagai pembersih sisa larutan.
Marker
Sebagai bahan yang berfungsi untuk mengetahui Ukuran DNA hasil amplifikasi.
Sampel Limfoid
Sebagai bahan yang akan diamati histopatologinya.
Es batu
Sebagai bahan penurun suhu pada coolbox saat transportasi ikan.
Kertas label
Sebagai pemberi tanda perlakuan.
Formalin 10%
Sebagai pengawet organ hasil nekropsi.
Larutan davidson          Sebagai
pengawet sampel sebelum analisis histologi.
Parafin cair
Sebagai bahan pengawet organ Limfoid pada proses impregnasi.
Parafin blok
Sebagai bahan pengawet organ Limfoid pada proses embedding.
Xylol
Sebagai penghilang sisa alkohol pada jaringan.
Etanol
70%, 80%, 90% dan 100% Sebagai penarik air yang ada pada jaringan.
Haematoxyline
Sebagai pewarna jaringan dan memiliki sifat bersifat basa.
Eosin
Sebagai pewarna jaringan dan memiliki sifat asam.
Lem entelan
Sebagai perekat cover glass pada objek glass.
Cover glass
Sebagai penutup objek glass.
Dry ice
Sebagai pengkondisian suhu pada saat transportasi virus.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Menurut Jaedun (2011), Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan secara sengaja oleh peneliti dengan cara memberikan treatment/perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian guna mengetahui suatu kejadian/keadaan yang diteliti bagaimana akibat dari perlakuan.

RANCANGAN PENELITIAN
Pada penelitian ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penggunaan RAL digunakan karena penelitian dilakukan di laboratorium dengan kondisi lingkungan yang terkontrol (Nazir, 2003). RAL merupakan rancangan penelitian yang paling sederhana dengan bahan yang homogen dan perlakuan terbatas.

Rancangan penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Rancangan acak lengkap merupakan rancangan percobaan yang paling sederhana diantara rancangan percobaan standart lainya. Beberapa keuntungan menggunakan rancangan acak lengkap antara lain: 1. Denah perancangan percobaannya lebih mudah. 2. Analisis statistika terhadap objek percobaan sederhana. 3. Fleksibel dalam jumlah penggunaan, perlakuan dan ulangan (Pratista,2004). Denah RAL disajikan pada Gambar 7.


Gambar 7. Denah Penelitian

Keterangan:
A : Perlakuan dengan infeksi 10^2
B : Perlakuan dengan infeksi 10^3
C : Perlakuan dengan infeksi 10^4
K : Kontrol negatif

PROSEDUR PENELITIAN

PERSIAPAN MEDIA
Media pemeliharaan udang vaname dalam penelitian ini bersumber dari air laut yang telah ditampung di dalam tandon BBPBAP Jepara. Air laut kemudian dilakukan sterilisasi menggunakan kaporit dengan dosis 20 ppm dalam waktu 24 jam. Setelah itu, ditambahkan Na-Thiosulfat untuk menghilangkan sisa-sisa kaporit setengah dari dosis kaporit yang digunakan yaitu kurang lebih 10 ppm.  Kemudian dilakukan aerasi selama 14 jam secara terus menerus. Air laut yang telah steril dapat digunakan sebagai media hidup udang.

PERSIAPAN WADAH PENELITIAN
Wadah pengamatan yang digunakan berupa bak kontainer dengan kapasitas 150 L sebanyak 12 buah.  Bak yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dengan air dan sabun, lalu dikeringkan kurang lebih selama 24 jam. Setelah itu, air laut sebagai media hidup udang diisikan ke dalam bak kontainer sebanyak 80 liter. Air laut yang digunakan telah disterilkan terlebih dahulu menggunakan kaporit sebanyak 20 ppm. Kemudian dilakukan pemasangan aerator set untuk membantu suplai ketersedian oksigen selama pemeliharaan udang.

STERILISASI ALAT DAN BAHAN
Sterilisasi alat dan bahan sebelum digunakan merupakan salah satu prosedur yang sangat penting. Hal tersebut disebabkan karena kebersihan alat dan bahan yang digunakan akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan budidaya mengingat mikroorganisme patogen dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat dimana saja. Berikut adalah langkah-langkah dalam proses sterilisasi alat dan bahan.

- Alat-alat uji PCR sebelum di sterilisasi dicuci dengan sabun dan dibilas menggunakan air mengalir kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering.
- Bahan-bahan yang akan digunakan seperti saringan miliophore dan tube dimasukkan ke alam beaker glass kemudian ditutup alumunium foil dan disterilisasi menggunakan autoklaf.
- Autoklaf di setting ke mode on yaitu suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit. Apabila telah selesai, tekan tombol off dan buka klep penutup setelah alarm berbunyi.

PENYEDIAAN VIRUS WSSV
Virus WSSV di dapatkan dari inokulum virus yang tersedia di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, yaitu dari sampel udang vaname yang positif terinfeksi WSSV. Prosedur pembuatan inokulum virus dibuat mengikuti metode Wahjuningrum, et al. (2006), Virus diambil dari organ insang udang vaname terinfeksi WSSV. Sebanyak 1 gram organ udang yang terinfeksi WSSV digerus sampai halus dan dilarutkan dalam 9 ml air laut steril, kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 g selama 30 menit dan 8000 g selama 20 menit. Supenatan yang dihasilkan disaring dengan kertas miliphore 0,45 µm menggunakan filter holder dan syringe. Setelah itu dilakukan RT-PCR untuk mengetahui dosis virus yang akan digunakan, lalu dilakukan pengenceran bertingkat.

PERSIAPAN UDANG UJI
Udang vaname yang akan diuji dalam penelitian ini dipilih udang vaname dengan kondisi sehat dan memiliki ukuran size 50 yang sesuai dengan ukuran udang konsumsi. Hal ini agar lebih mudah dalam pengamatan organnya. Udang yang digunakan sebanyak 120 ekor. Setiap bak kontainer dimasukkan udang 10 ekor lalu  diaerasi untuk membantu suplai oksigen selama pemeliharaan. Waktu pemeliharaan udang dilakukan selama kurang lebih 4 hari sebagai perlakuan aklimatisasi sebelum dilakukan injeksi virus. Selama pemeliharaan ini, udang diberi pakan pelet secara ad libitum dengan frekuensi pemberian sebanyak 4 kali sehari. Penyiponan akuarium juga dilakukan secara rutin agar kondisi kualitas air tetap stabil.

PELAKSANAAN PENELITIAN

PENULARAN VIRUS WSSV
Penularan virus WSSV pada udang vaname dilakukan melalui injeksi. Virus disuntikkan di bagian  intramuscular segmen abdominal ketiga sebanyak 0,1 ml/ekor. Jumlah udang yang diinjeksi sebanyak 90 ekor. Pengamatan  udang pasca injeksi virus dilakukan pada jam ke 0, 6, 12, 24, 48, 60, dan 72 jam.

DETEKSI WSSV DENGAN PCR
Setelah diinjeksikan virus WSSV kemudian dilakukan pengujian pada udang menggunakan PCR untuk mengetahui apakah udang terinfeksi WSSV atau tidak. Deteksi yang digunakan adalah dengan metode Polymeration Chain Reaction (PCR). Metode ini telah banyak digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus. Organ target yang biasa digunakan dalam ekstraksi DNA udang adalah insang atau kaki renang (pleopoda). Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan berbagai metode, tergantung dari acuan yang digunakan. Pada Laboratorium Pengujian Mutu Perikanan Budidaya BBPBAP Jepara mengacu pada The Office International des Epizooties, OIE (2009) tentang Manual of Diagnostics Test for Aquatic Animal chapter 2.2.2, sehingga metode ekstraksi DNA menggunakan metode lisis buffer.

Menurut Handoyo (2001), dalam proses ekstraksi DNA bertujuan untuk mengeluarkan DNA dari nukleus, mitokondria, atau organel dan biasanya dilakukan dengan penambahan lisis buffer untuk mencegah terjadinya kerusakan DNA. Pada saat ekstraksi DNA dilakukan penumbukan sampel agar bahan sampel menjadi halus dan komposisinya menyatu. Pada dasarnya ekstraksi DNA terdiri dari beberapa tahap, yaitu : homogenisasi, separasi, presipitasi, pencucian dan pelarutan DNA. Ekstraksi pada organisme eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel, penghilangan protein dan RNA, dan pengendapan DNA dan pemanenan.

Menurut Prayoga dan Wardani (2015), proses PCR berlangsung dalam tiga tahap, yakni tahap denaturasi, tahap penempelan (annealing), dan tahap pemanjangan (extension). Tahap denaturasi dilakukan dengan menaikkan suhu hingga suhu 93 – 950 C dan bertujuan untuk memecah DNA target dari dua untai menjadi untaian DNA tunggal yang saling terpisah. Tahap annealing dilakukan pada suhu 50 – 620 C setelah tahap denaturasi dan bertujuan agar primer menempel pada DNA target. Tahap extension berlangsung pada suhu 720 C setelah tahap annealing dan bertujuan agar enzim polimerase dapat melakukan sintesis sehingga berlangsung proses pemanjangan untaian DNA baru. Setiap tahap PCR tersebut harus dilakukan secara berurutan dan satu perjalanan dari tahap denaturasi hingga tahap extension dinamakan satu siklus (cycle). Satu proses PCR membutuhkan sekitar 30 – 40 siklus. Setelah elektroforesis, dilakukan pewarnaan menggunakan etidium bromida selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan hasil menggunakan UV transilluminator dan dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi.

PEMBUATAN PREPARAT HISTOLOGI
Pengambilan organ limfoid dilakukan pada hari sebelum terjadinya  kematian 100 % pasca penularan virus WSSV. pembuatan preparat histologi dengan tahapan-tahapan menurut Zalsabilla (2018), sebagai berikut:

Tahap Fiksasi
Organ limfoid udang yang telah didapatkan kemudian direndam dalam botol film yang berisi larutan Davidson selama selama 24-28 jam. Setelah itu larutan Davidson diganti dengan larutan alkohol 70% hingga proses dehidrasi dilakukan. Menurut Hamsah, et al. (2006), Larutan fiksatif Davidson baik digunakan untuk pengawetan udang dengan lama waktu 24-28 jam. Jaringan limfoid kemudian dipotong setebal 3-5 mm dengan ukuran sekitar 1 cm3. Potongan jaringan yang terlalu besar akan mengakibatkan jaringan tidak terfiksasi secara sempurna, sehingga dapat menyebabkan pembusukan dan mengganggu proses pengamatan histopatologi organ.

Tahap Dehidrasi
Pada tahapan ini dilakukan penarikan air secara bertahap pada jaringan menggunakan alat tissue processor selama 20 jam. Proses dalam alat tissue processor terdiri atas alkohol 70% selama 1 jam, alkohol 80% selama 1 jam, alkohol 90% selama 2 jam, alkohol 96% selama 2 jam, alkohol absolute 1 selama 2 jam dan alkohol absolute 2 selama 2 jam.

Tahap Clearing
Tahap ini dilakukan dengan cara mencelupkan jaringan ke dalam larutan xylol 1 selama 1 jam, kemudian dicelupkan kembali ke dalam larutan xylol 2 selama 2 jam dan dicelupkan ke dalam larutan xylol 3 selama 2 jam. Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mentransparankan dan menggantikan sisa-sisa alkohol pada jaringan.

Tahap Impregnasi
Tahap ini bertujuan untuk menyamakan keadaan jaringan dengan bahan pengeblokan pada proses embedding. Impregmentasi dilakukan dengan mencelupkan jaringan ke parafin cair dengan suhu 56-600C selama 2 jam, dilanjutkan dengan mencelupkan kembali kedalam parafin cair dengan suhu 56-60ºC selama 2 jam.

Tahap Embedding
Embedding atau pengeblokkan bertujuan untuk mempermudah penyayatan jaringan menggunakan mikrotom. Setelah proses pengeblokan jaringan selesai, kemudian dilakukan proses penyayatan atau pemotongan spesimen dengan ketebalan 4-5µ dengan bantuan mikrotom. Hasil sayatan selanjutnya dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 400C. Kemudian dipilih hasil sayatan yang terbaik dan disiapkan object glass yang telah diolesi dengan perekat polisilin untuk dilakukan pewarnaan dengan pewarna HE (Hematoksilin Eosin). Kemudian object glass yang berisi sayatan jaringan dikeringkan pada slide drying dengan suhu 50-600C selama 30 menit.

Tahap Pewarnaan dengan HE
Pewarnaan menggunakan HE (Hematoksilin Eosin) dilakukan dengan langkah seperti pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Langkah-langkah Pewarnaan menggunakan HE

TAHAP MOUNTING
Tahapan ini dilakukan dengan cara menempelkan lem pada preparat sebelum ditutup dengan cover glass. Jenis lem yang digunakan yaitu lem entelan. Setelah dilem, preparat dibiarkan pada suhu ruangan sampai lem mengering kemudian diamati menggunakan mikroskop. Proses mounting yang kurang sempurna akan mengakibatkan hasil yang kurang maksimal pada saat proses pengamatan pada mikroskop.

ANALISIS HISTOPATOLOGI
Analisis hasil uji histopatologi limfoid udang vaname menggunakan analisis statistik pemberian skoring dengan metode semi kuantitatif untuk mengetahui tingkat kerusakan sel limfoid udang vaname yang terserang WSSV. Menurut Kakkilaya (2002), untuk menghitung jumlah area yang terwarnai dan dilakukan secara manual dengan menghitung persentasenya. Pembacaan dimulai dari tepi kiri (sesuai dengan posisi ekor preparat) ke arah kanan kemudian turun ke bawah dan bergeser ke arah ekor kembali (gerak zig zag) dapat dilihat pada Gambar 8.


Gambar 8. Alur Perhitungan Skoring (Gerak Zig-zag) (Siswandari, 2005).

Pada metode semi kuantitatif dilihat dari lima luas bidang lapang pandang sehingga mendapatkan hasil yang maksimal pada tingkat kerusakan jaringan. Persentase kerusakan setiap luas bidang lapang pandang dihitung berdasarkan jumlah sel yang mengalami kerusakan menurut Raza’l (2008) dengan rumus:


Penentuan tingkat keganasan serangan mengikuti Niman (2002):
a. Stadia 0, belum ditemukan pada organ target
b. Stadia 1, terdapat hipertropi pada inti sel organ target
c. Stadia 2, ditemukan hipertropi pada inti sel sebanyak kira-kira 10-20% dari sel organ target yang nampak terinfeksi.
d. Stadia 3, hipertropi ditemukan pada bagian inti sel organ target sebanyak 30-40% dari sel yang nampak terinfeksi.
e. Stadia 4, ditemukan hipertropi pada bagian inti sel organ target dan mencapai >40% dari sel-sel yang nampak terinfeksi (infeksi berat).

PARAMETER UJI

PARAMETER UTAMA
Parameter utama dalam penelitian ini adalah pengamatan histopatologi udang vaname (Litopenaeus vannamei). Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui gambaran jaringan limfoid pada udang vaname yang tanpa diberi perlakuan, serta udang yang diinfeksi virus WSSV yang dipelihara selama lima hari.

PARAMETER PENUNJANG
Parameter penunjang dalam penelitian ini meliputi gejala klinis udang setelah diinfeksi virus WSSV, survival rate selama masa pemeliharaan dan pengamatan kualitas air seperti suhu, pH, DO, dan salinitas.

ANALISIS DATA
Data yang diperoleh kemudian dianalisis statistik metode rancangan acak lengkap (RAL) yaitu 3 perlakuan dan 3 ulangan pada masing-masing perlakuan, dan kontrol sebagai pembanding. Selanjutnya dianalisis keragaman (ANOVA) dan dilakukan uji BNT serta uji regresi untuk analisis pengaruh kerusakan organ menggunakan Microsoft excel 2010 untuk mengetahui perbedaan pengaruh dosis  terhadap kerusakan organ limfoid. Kemudian dilakukan analisis histopatologi guna mendapatkan data scoring dari kerusakan organ akibat infeksi virus.

HASIL UJI PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)

PCR SEBELUM PERLAKUAN INFEKSI WSSV
Deteksi yang digunakan adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil  PCR sebelum infeksi WSSV dapat dilihat pada Gambar 9.


Gambar 9.  Hasil Uji PCR Sampel Udang. M : Marker (100 bp DNA ladder), K(-): Kontrol  negatif, K(+): Kontrol  posiitif terinfeksi  WSSV , step 2 (941  bp), S : Sampel udang yang dianalisis

Hasil uji PCR diatas dapat disimpulkan bahwa udang vaname sebelum dilakukan infeksi inokulum virus WSSV negatif. Hasil negatif karena tidak adanya kemunculan bend atau pita DNA pada sampel udang diuji yang sejajar dengan bend kontrol positif (941 bp). Diartikan bahwa udang vaname yang digunakan dalam penelitian ini tidak terindikasi adanya infeksi virus. Diperkuat menurut Supriatna, et al. (2014), hasil analisis terhadap udang sampel menunjukkan hasil negatif apabila tidak terdapat pita DNA WSSV.

PCR PASCA INFEKSI WSSV
Deteksi yang digunakan adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil  PCR pasca infeksi WSSV dapat dilihat pada Gambar 10.


Gambar 10. Hasil Uji PCR. (a) perlakuan tanpa infeksi virus (kontrol) dan (b)  perlakuan infeksi virus. Keterangan : M : Marker (100 bp DNA ladder), K(-) : Kontrol  negatif, K(+): Kontrol  posiitif terinfeksi  WSSV , step 1 (1.447  bp) dan step 2 (941  bp), S : Sampel udang yang dianalisis, (a) Perlakuan tanpa infeksi virus (kontrol) dan (b) Perlakuan infeksi virus
                       
Hasil uji PCR sesuai dengan Gambar 9a perlakuan tanpa infeksi (kontrol) menunjukkan bahwa hasil negatif karena tidak ada kemunculan bend atau pita DNA pada sampel udang yang diuji. Hasil pada kelompok perlakuan yang diinjeksi virus pada Gambar 9b positif terinfeksi WSSV karena adanya munculnya bend DNA pada sampel yang sejajar dengan bend kontrol positif pada ukuran fragmen 941 bp. Diperkuat menurut Pranawaty, et al. (2012), hasil deteksi terhadap serangan virus white spot menggunakan uji PCR konvensional nampak pita DNA WSSV.

ANALISIS HISTOPATOLOGI
Organ limfoid udang merupakan target utama infeksi WSSV. Gambaran histopatologi limfoid udang vaname yang telah diinfeksi virus WSSV pada pengamatan dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x disajikan pada Gambar 11.


Gambar 11. (K) Kontrol, (A) 10^2, (B) 10^3, (C) 10^4. Panah putih menunjukan Inti sel normal, panah hitam inti sel mengalami hipertropi.
                  
Pengamatan histopatologi limfoid udang menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x, diperoleh hasil bahwa organ limfoid udang vaname ditemukan adanya kerusakan yang ditandai dengan membesarnya sel akibat hipertropi yang membentuk inklusi body . Hasil pengamatan histopatologi organ limfoid udang vaname tiap jam pengamatan disajikan pada Gambar 12.


Gambar 12. Kerusakan tiap jam pengamatan (a) 6 jam pasca infeksi, (b) 12 jam pasca infeksi, (c) 24 jam pasca infeksi, (d) 36 jam pasca    infeksi, (e) 48 jam pasca infeksi. Panah hitam menunjukan hipertropi.

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan Gambar 10 dan Gambar 11, dapat diketahui bahwa kerusakan organ limfoid adalah hipertropi. Pembesaran inti sel merupakan stadia awal dari infeksi, kemudian terjadi karyoreksis dimana inti sel bergerak ke bagian pinggir dari sel. Karyoreksis terjadi lalu karyolisis dimana inti sel mengalami pecah dan kemudian ke pinggir sel (Widodo, 2002). Karakteristik infeksi WSSV secara histologis berupa pembengkakan yang terjadi pada inti sel (hipertropi). Menurut Bower (1996), keadaan tersebut disebabkan perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam nukleus. Inti sel yang membengkak akan menekan cairan sel dan sel pecah karena penekanan inti sel melebihi toleransi elastisitas dinding sel. Inti sel yang pecah bercampur dengan pecahan inti sel lain yang bersebelahan menimbulkan runtuhan sel (debris), hal ini menyebabkan rusaknya fungsi organ dan penyebab kematian (Rocman, 1995).

Hasil perhitungan persentase tingkat kerusakan organ yang diperoleh dilakukan skoring dan analisis data. Analisis data skoring kerusakan hipertropi pada limfoid udang vaname disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Skoring Kerusakan Hipertropi pada Limfoid Udang Vaname

Berdasarkan pada Tabel 5, kerusakan hipertropi pada semua perlakuan menunjukan gejala berat, karena organ limfoid merupakan target dari infeksi WSSV pernyataan ini diperkuat menurut Hamsah et al. (2006), Jaringan limfoid merupakan organ target WSSV. Diperkuat menurut Widodo (2002), konsentrasi penyerangan dari WSSV adalah organ limfoid yang berfungsi sebagai penghasil getah bening pada proses imunitas tubuh udang, inilah yang menyebabkan penurunan daya tubuh udang sangat cepat jika terkena penyakit ini. Skoring kerusakan hipertropi secara lengkap disajikan pada Lampiran 8. Selanjutnya dilakukan uji sidik ragam untuk mengetahui pengaruh infeksi virus dengan konsentrasi yang berbeda terhadap kerusakan hipertropi pada insang udang yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Skoring Kerusakan Hipertropi

Berdasarkan Tabel 6 diatas, menunjukkan bahwa seluruh perlakuan tidak berbeda nyata dimana F hitung lebih kecil dari F 5% dan F 1%. Hasil tidak berbeda nyata karena pada seluruh perlakuan menunjukkan kerusakan berat karena organ limfoid merupakan target dari virus WSSV. Pernyataan ini didukung menurut Widodo (2002), konsentrasi penyerangan dari WSSV adalah organ limfoid yang berfungsi sebagai penghasil getah bening dalam proses imunitas tubuh udang, hal inilah yang menyebabkan penurunan daya tubuh udang sangat cepat jika terkena penyakit ini. Diperkuat menurut Hamsah, et al. (2006), Jaringan limfoid merupakan organ target WSSV dan tempat perkembangan infeksi pada tubuh udang.

GEJALA KLINIS UDANG VANAME YANG TERINFEKSI WSSV
Gejala klinis merupakan salah satu indikasi bahwa udang tersebut terinfeksi suatu penyakit. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13.


Gambar 13. Gambar (a) udang normal, (b) berenang tidak terarah, (c) warna tubuh kusam kemerahan, (d) kaki renang dan tubuh merah

Ciri-ciri udang yang terserang virus WSSV dilihat berdasarkan gejala klinisnya selama 6 sampai 72 jam pengamatan pasca infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Tabel Gejala Klinis Pasca Infeksi WSSV

Hasil pengamatan gejala klinis pada Tabel 7 setelah dilakukan uji tantang dengan WSSV Pada 6 jam pertama pasca penginfeksian, pada keseluruhan perlakuan dan kontrol udang terlihat normal. 12 jam sampai 24 jam pasca penginfeksian, semua perlakuan dan kontrol normal. 36 jam pasca penginfeksian udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi normal, tingkah laku udang banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit, pada perlakuan B pengamatan morfologi kaki renang kemerahan, tingkah laku udang banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit, pada perlakuan C pengamatan morfologi kaki renang udang berwarna kemerahan, tingkah laku udang banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit. 48 jam pasca penginfeksian udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi normal, tingkah laku berenang tidak terarah, status udang sakit, pada perlakuan B kaki renang udang berwarna kemerahan, tingkah laku berenang tidak terarah, status udang sakit, pada perlakuan C pengamatan morfologi kaki renang udang berwarna kemerahan, tingkah laku udang berenang tidak terarah, status udang sakit. 60 jam pasca penginfeksian udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi kaki dan tubuh kemerahan, tingkah laku berenang tidak terarah, status udang sakit, pada perlakuan B pengamatan morfologi kaki dan tubuh udang berwarna kemerahan, tingkah laku berenang tidak terarah, status udang sakit. Udang cenderung bergerombol di tepi tambak, gejala lain juga terlihat warna tubuh menjadi merah, serta abdomen udang berwarna kemerahan. 72 jam pasca infeksi udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi kaki dan tubuh udang berwarna kemerahan, tingkah laku banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit.

Ciri-ciri udang normal menurut Arafani, et al. (2016), tubuh udang berwarna putih bening atau cerah dan bagian tubuh udang lengkap. Tanda-tanda udang terinfeksi menurut Soetrisno (2004), udang berenang di ujung bak pemeliharaan, warna tubuh kemerahan pada bagian kaki jalan maupun kaki renang, dan berenang tidak terarah. Udang yang telah terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan warna pada kulit dikarenakan terjadi pembesaran kromatofor kutikula. Kromatofor merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh udang, perubahan warna tanda adanya penurunan imunitas untuk melawan adanya unsur asing dalam tubuh (Bower, 1996).

SURVIVAL RATE (KELULUSHIDUPAN)
Survival rate merupakan persentase kelulushidupan suatu organisme dari awal pemeliharaan sampai akhir masa pemeliharaan. Menurut Iskandar dan Elrifadah (2015), bahwa tingkat kelangsungan hidup merupakan nilai persentase jumlah udang yang hidup selama periode pemeliharaan grafik survival rate ditampilkan pada Gambar 14.


Gambar 14. Grafik Survival Rate Tiap Jam Pengamatan

Hasil perhitungan survival rate  selama penelitian diperoleh dilakukan uji normalitas menggunakan microsoft excel 2010 yang disajikan pada Lampiran 9 kemudian dilakukan analisis data yang disajikan pada Tabel 8 sebagai berikut.

Tabel 8.  Rerata SR Udang Vaname Selama Pemeliharaan

Hasil yang ditunjukan pada Tabel 8, perlakuan kontrol sampai akhir penelitian tidak mengalami kematian sampai akhir pemeliharaan, pada perlakuan A nilai survival rate tertinggi 40% di A1 dan A3, pada perlakuan B nilai survival rate tertinggi 10% di A2, sedangkan pada perlakuan C mengalami kematian total.

Hasil tersebut dikarenakan limfoid merupakan organ target dari virus WSSV sehingga udang mengalami kematian. Pernyataan ini diperkuat menurut Niman (2002), organ limfoid merupakan target utama virus WSSV pada tingkat pertama dicirikan oleh adanya hipertropi pada inti sel yang belum berisi badan inklusi. Tingkat kedua dicirikan oleh hipertropi inti yang mengandung badan inklusi. Tingkat ketiga inti sel mengandung banyak badan inklusi. Tingkat keempat terjadi kematian pada udang.

Langkah selanjutnya dilakukan perhitungan analisis sidik ragam kerusakan akibat hipertropi yang hasilnya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis Sidik Ragam SR Udang Vaname

Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar dari F tabel 5% dan F tabel 1%. Dapat diambil kesimpulan bahwa infeksi virus WSSV dengan konsentrasi berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup udang vaname, sehingga untuk mengetahui adanya perbedaan pada setiap perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Uji BNT SR Udang Vaname

Berdasarkan pada tabel 10 diatas, menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memiliki pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap perlakuan A, perlakuan B, dan perlakuan C. Perlakuan A dosis infeksi 10^2 memiliki pengaruh yang berbeda sangat nyata terhadap perlakuan B dan perlakuan C. Perlakuan B dan C tidak memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup udang vaname dengan infeksi virus WSSV. Hubungan antar perlakuan yang diberikan terhadap nilai SR udang disajikan pada Gambar 15.


Gambar 15. Gambar Hubungan Nilai SR dengan konsentrasi virus WSSV

Hasil yang ditunjukkan pada Gambar 15, diperoleh grafik regresi linier dengan persamaan y=50,079-0,0054x dengan R2= 0,99. Diperoleh kesimpulan perlakuan infeksi virus WSSV dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup udang vaname. Semakin tinggi konsentrasi virus yang diinfeksikan mengakibatkan kelangsungan hidup udang vaname menjadi turun. Kerusakan sel yang terlihat adalah pembengkakan pada inti sel (hipertropi). Keadaan ini disebabkan perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam nukleus (Moore dan poss, 1999). Perkembangan selanjutnya inti sel bergerak ke pinggir (karyoreksis) lalu karyolisis selanjutnya inti sel runtuh (debris) organ rusak sehingga menyebabkan kematian pada udang.

KUALITAS AIR
Kualitas air merupakan salah satu faktor yang penting dalam kegiatan penelitian karena digunakan untuk mengukur media hidup udang yang diteliti. Kualitas air yang diukur antara lain suhu, pH, DO dan salinitas. Pengukuran kualitas air dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi siang dan sore hari. Data kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5.

SUHU
Suhu merupakan salah satu parameter penting yang harus diperhatikan dalam memelihara udang. Suhu dapat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan organisme seperti nafsu makan udang maupun metabolismenya. Apabila terjadi peningkatan suhu maka akan meningkatkan pengambilan makanan oleh udang, peningkatan metabolisme, stres bahkan mati. Sebaliknya, apabila suhu mengalami penurunan maka akan menyebabkan proses pencernaan dan metabolisme akan berjalan lambat.

Berdasarkan hasil pengukuran, kisaran suhu selama pemeliharaan berkisar antara 26.3-29.4°C. Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran normal, sesuai dengan pernyataan Pasongli, et al., (2015), bahwa toleransi hidup udang vaname berkisar pada suhu 16-36°C.

SALINITAS
Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Satuan salinitas bisa dinyatakan dalam gram garam per kilogram air, atau juga bisa dalam bagian per seribu (ppt atau o⁄oo), salinitas yang tidak optimal menyebabkan stres pada udang serta menyebabkan kematian.

Selama masa penelitian nilai salinitas yang digunakan 30 ppt. Kisaran salinitas tersebut dikatakan normal, sesua dengan pernyataan Adisukresno (1990) bahwa udang vaname biasa hidup pada rentang salinitas 24-32 ppt.

DERAJAT KEASAMAN (PH)
Derajat keasaman (pH) merupakan konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan. pH yang tidak optimal dapat menyebabkan pertumbuhan ikan yang rendah atau terganggu, ikan yang mudah terserang penyakit, produktivitas menurun, ikan stres bahkan menyebabkan ikan mengalami kematian.

Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) selama pemeliharaan berkisar antara 7,73-8,06. Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran normal, sesuai dengan pernyataan Sumeru dan Anna (1992), bahwa pH air yang baik untuk pemeliharaan dan pembesaran udang adalah 7,0-8,5.

OKSIGEN TERLARUT (DO)
Oksigen terlarut (DO) sangat diperlukan untuk respirasi dan proses metabolisme udang. Kadar DO yang rendah dalam perairan menyebabkan penurunan daya hidup ikan dan menurunkan proses metabolisme udang. Pada tingkat konsentrasi yang sangat rendah dapat menyebabkan kematian udang.

Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) selama pemeliharaan berkisar antara 5,27-6,15 ppm. Kisaran suhu tersebut dikatakan normal, hal ini sesuai dengan pendapat Amri dan Kanna (2008), hal ini masih dikatakan layak bahwa oksigen yang baik untuk pertumbuhan udang adalah 4-7 ppm.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan kesimpulan sebagai berikut : Kerusakan  pada organ limfoid udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) adalah hipertropi inti sel dari udang yang terinfeksi mengalami pembesaran yang disebabkan oleh penumpukan virion virus di inti sel. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi WSSV tubuh udang berubah kemerahan, dan berenang tidak terarah. Dosis terbaik yang menyebabkan kematian tertinggi pada perlakuan C dengan konsentrasi 10^4.

SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan saran sebagai berikut : Melakukan penelitian lanjutan hematologi pada udang vaname yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis infeksi 10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian histopatologi udang vaname dengan dosis infeksi selain 10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian berbeda dengan mengganti spesies udang selain udang vaname yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis infeksi 10^2, 10^3 dan 10^4.

PENULIS
Gery Purnomo Aji Sutrisno
FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015

DAFTAR PUSTAKA
Adisukresno, S., S. Ilyas, Sujipto., N. Perbowo., A. Poernomo., A. Rukyani., A. Hanafi., M. L. Nurdjana., E. Kusnendar., C. Kokarkin., T. Permadi., R. Wibisono., B. Wahyudi dan T. Hariyanto. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Budidaya Udang di Pertambakan dalam Usaha Pengendalian Penyakit. Departemen Pertanian, Jakarta.
Aguirre-Guzman, G., J. G. Sanchez-Martinezm A. I. Campa-Cordova, A. Luna-Gonzalez and F. Ascencio. 2009. Penaeid Shrimp Immune System. Thailand Journal Veterinary Medicine. 39(3): 205-215.
Alifuddin, M. 2002. Imunostimulasi pada hewan akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(2): 87-92.
Amri, K. dan I. Kanna. 2008. Budi Daya Udang Vaname Secara Intensif, Semi Intensif, dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 168 hlm.
Arafani, L. Ghazali., M. Ali dan Muhamad. 2016. Pelacakan virus bercak putih pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan real-time polymerase chain reaction. Jurnal Veteriner. 17(1): 88-95.
Baidi, B. 2002. Uji Patogenitas White Spot Syndrom Virus (WSSV) terhadap Udang Windu (Panaeus monodon Fabricus) pada Konsentrasi 20 µg/ml Secara Perendaman Selama 30, 60 dan 90 Menit. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 79 hlm.
Bower SM. 1996. Synopsis of infection Disease and Parasites of commercially  Exploited Shell fish : White Spot Syndrome of Panaeid Shrimp. http://www-sci.pac.dfo-mpo.Gc.ca.html/. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2018.
Briggs, M., Smith, S.F., Subasinghe, R., & Phillips, M. 2004. Introduction and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostis in Asia and the Pacific. RAP Publication 2004/10. Bangkok. 92p.
Budiwardhani, R. H. 2018. Analisis Kualitas Air dan Pemberian Imunostimulan Ekstrak Rumput Laut terhadap Perubahan Jumlah Sel Hemosit Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) yang Terinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 86 hlm.
Burhanuddin. 2009. Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Umur Tokolan Berbeda. Seminar Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2006. Uji teknologi budidaya udang bebas penyakit bercak putih. Mina Bahari, 3(2): 16-17.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Volume Produksi Udang 2009-2013. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Effendi. 2018. Description of white spot virus in L. vannamei. 2 hlm.
Fariedah, F. 2010. Pengaruh Imunostimulan Outer Membran Protein (OMP) Vibrio alginolyticus dan infeksi Vibrio harveyi terhadap DNA Mitokondria Udang Windu Penaeus monodon Fab. Thesis. Program Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
Haliman, R.W. & Adijaya, S.D. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya, Jakarta, 75 hlm.
Hamsah., D. Dana dan M. B. M. Malole. 2006. Peran pakan alami dalam penularaan white spot syndrome virus pada benur udang windu (Penaeus monodon Fabr.) sebuah kajian awal. Majalah Ilmiah Agriplus. 16: 1-9.
Handoyo, D. dan A. Rudiretna. 2001. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase chain reaction (PCR). Jurnal Unitas. 9(1): 17-29.
Harjana, T. 2011. Buku Ajar Histologi Universitas Negeri Yogyakarta. 49 hlm.
Hudi, L dan A. Shahab. 2005. Optimasi produktivitas budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan metode respon surface dan non linear programming. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II. 28.1-28.9.
Iskandar, R dan Elrifadah. 2015. Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang Diberi Pakan Buatan Berbasis Kiambang. Ziraa’ah. 40(1): 18-24.
Itami, T. 1994. Body Defense System of Penaeid Shrimp. Paper presented on seminar on Fish Physiology and Prevention of Epizootics. Dept of Acuaculture and Biology. University Fisheries. Japan.
Jaedun, A. 2011. Metodologi Penelitian Eksperimen. Artikel ilmiah. Fakultas Teknik UNY.  Hal 1-13.
Kakkilaya, B. S. 2002. Peripheral Smear Examination For Malarial Parasite. Dr. B. S. Kakkilaya’s Malarial Web Site. Kayser, O., A. F Kiderlen, and S. L. Croft. 2000. Natural Products as Potential AntiparasiticDrugs.www.fuberlin.de/akkayscr/antiparasiticsfromnature.pdf. Diakses 22 April 2019.
Kilawati, Y dan Y. Maimunah. 2015. Kualitas lingkungan tambak intensif Litopenaeus vannamei dalam kaitannya dengan prevalensi penyakit White spot syndrome virus. Research Journal of Life Science. 2(1): 50-59.
Koesharyani, I dan L. Gardenia. 2015. Metode deteksi cepat White spot syndrome virus (WSSV) dan infectiuos myonecrosis virus (IMNV) menggunakan portabel/mobile polymerase chain reaction. Jurnal Akuakultur. 10 (1): 43-49.
Lu, Y., L. M. Tapay., P. C. Loh., J. A. Brock and R. Gose. 1995. Development of a Quantal Assay in Primary Shrimp Cell Culture for Yellow Head Baculovirus (YBV) of Penaeid Shrimp. Journal Virol Methods. 52: 231-236.
Malole, M. B. 1988. Virologi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Manoppo, H. 2011. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Manoppo, H. dan M. E. F. Kolopita. 2014. Respon Imun Krustase. Jurnal Budidaya Perairan. 2(2): 22-26.
Maynard, E. A. and D. M. Maynard. 1960. Cholinesterase In The Crustacean Muscle Receptor Organ. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 8(5): 376-379.
Megawati. 2017. Identifikasi Jamur pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) yang Dibudidayakan Secara Sistem Semi Intensif dan Intensif. SKRIPSI. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 54 hlm.
Moore, A. M and S. G. Poos. 1999. White Spot Syndrom Virus. htttp://www.Lionfish.Ims.Usm/edu/musweb//nis/White-spot-Baculovirus-compleks.Htm. Diakses pada 22 April 2019.
Nadhif, M. 2016. Pengaruh Pemberian Probiotik pada Pakan dalam Berbagai Konsentrasi terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). SKRIPSI. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. 97 hlm.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 622 hlm.
Niman, D. A. 2002. Uji Patogenitas Virus Penyebab White Spot pada Udang Windu Panaeus monodon. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 62 hlm.
Nuryati, S. 2000. Penyediaan Biakan Sel Organ Limfoid (Oka) Udang Windu Panaeus monodon Secara In Vitro Sebagai Media Tumbuh bagi Virus. Tesis. Ilmu Perairan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ochoa-Meza, A. R., Álvarez-Sánchez A. R., Romo-Quiñonez C. R., Barraza Aaró., Magallón Barajas F. J., Chávez-Sánchez A., García-Ramos J. C., Toledano-Magaña Y., Bogdanchikova N., Pestryakov A., Mejía-Ruiz C. H. 2018. Silver nanoparticles enhance survival of white spot syndrome virus infected Penaeus vannamei shrimps by activation of its immunological system. Fish and Shellfish Immunology. Mexico. 30p.
Ode, I. 2013. Kajian sistem imunitas untuk pengendalian penyakit pada ikan dan udang. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 6(2): 41-43.
OIE (Organization International des Epizooties). 2009. Bovine Brucellosis.TerrestialManualChapter2.4.3http://www.oie.int/fileadmin/Home. Diakses pada 22 April 2019.
Oka, M. 1969. Studies on the Panaeus orientalis Kishinouye-VIII Structure of the Newly Found Lymphoid Organ. Nagasaki University Academic Output Site. Bull Jpn Soc Sci Fish.  35: 245-250.
Panigoro, N., I. Astuti., M. Bahnan., P. D. C. Salfira dan K. Wakita. 2007. Teknik Dasar Histologi dan Atlas Dasar-Dasar Histopatologi Ikan. Balai Budidaya Air Tawar Jambi dan Japan International Coperation Agency.
Pasongli, H., G. D. Dirawan dan Suprapta. 2015. Zonasi Kesesuaian Tambak untuk Pengembangan Budidaya Udang Vaname (Penaeus vannamei) pada Aspek Kualitas Air di Desa Todowong Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Bioedukasi. 3(2): 1-12.
Pazra, D. F. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hlm.
Pranawaty, R. N., I. D. Buwono dan E. Liviawaty. 2012. Aplikasi Pollymerase Chain Rection (PCR) Konvensional dan Real Time PCR untuk Deteksi White Spot Syndrome Virus pada Kepiting. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Unpad. Bandung. 14 hlm.
Pratista. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. PT. TLEX Komputindo. Jakarta. 292 hlm.
Pratiwi, H. C dan A. Manan. 2015. Teknik dasar histologi pada ikan gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7(2): 1-6.
Prayoga, W dan A. K. Wardani. 2015. Polymerase Chain Reaction untuk deteksi Salmonella sp. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 483-488.
Prayugi, I. T. 2014. Respon Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) pada Media Yang Berbeda. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. 66 hlm.
Putri, F. M. 2013. Pengaruh penambahan Spirulina sp. dalam pakan buatan terhadap jumlah total hemosit dan aktivitas fagositosis udang vaname (Litopenaeus vannamei). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(1): 102-112.
Rahayu, J. R. 2002. Uji Patogenitas Virus Penyebab White Spot Pada Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Secara Perendaman dalam Konsentrasi 100 µg/ml dan 200 µg/ml selama 240 menit. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hlm.
Raza’I, T. S. 2008. Analisis histopatologi organ insang dan usus ikan kerapu lumpur (Epinephelus coloides) yang diberi Khamir Laut (Marine Yeast) sebagai immunostimulan. Jurnal Akuakultur. 2(1): 1-26.
Rocman, K. B. 1995. Mengamati White Spot Secara Selullar. Techner 18 (th III/1995) Hal: 7-9.
Setyowati, A., D. H. Awik dan Nurlita. 2012. Studi histopatologi hati ikan belanak (Mugil cephalus) di muara sungai aloo Sidoarjo. Jurnal Ristek Akuakultur. 2(1):22-29.
Siswandari, W. 2005. Nilai diagnosis pemeriksaan imunositokimia limfosit sediaan apus darah tepi dibandingkan analisis kromosom pada penderita dengan dugaan sindroma Fragile X. TESIS. 74 hlm.
Soetrisno, C. K. 2004. Mensiasati Penyakit WSSV di Tambak Udang. Jurnal Aquaculture Indonesia. 5(1):19-31.
Subkhan, M., M. Alifuddin dan A. Taslihan. 2005. Efek radiasi ultraviolet teradap patogenitas white spot syndrome virus pada udang windu (Panaeus monodon Fab). Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (1): 79-87.
Sumeru, S. U., dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Panaeus monodon). Yogyakarta: Kanisius. 96 hlm
Supriatna, I., Yustiati, A dan Iskandar. 2014. Sekuen Asam Amino Anti White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Ilmu Hayati dan Fisik. 16(1): 40-46.
Susilowati, T., J. Hutabarat, S. Anggoro and M. Zainuri. 2014. The improvement of the survival, growth and production of Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei) and Seaweed (Gracilaria verucosa) based on polyculture cultivation. International Journal of Marine and Aquatic Resource Consevation and Co-existence. 1 (1): 6-11.
Takahashi Y., Itama T., Kondo M., Maeda M., Fujii R., Tomonaga S., Supamattaya K., Boon S., 1994 Electron microscopic evidence of bacilliform virus infection in kuruma shrimp (Penaeus japonicus). Fish Pathology 29(2):121-125.
Usman, A. dan Rochmady. 2017. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang windu (Panaeus monodon Fab.) melalui pemberian probiotik dengan dosis berbeda. Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1 (1): 19-26.
Vlak, J. M., Bonami J. R., Flegel T. W., Kou G. H., Lightner D. V., LO, C. F., Loh P. C., Walker, P. J. 2002. http // www.plant Wageningen-urnl/dews/2001- 14-en/html. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2018.
Wahjuningrum, D., S. H. Sholeh dan S. Nuryati. 2006. Pencegahan Infeksi Virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu Panaeus monodon dengan Cairan Ekstrak Pohon Mangrove (CEPM) Avicennia sp. Dan Sonneratia sp. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5(1): 65-75.
Wang HC, Hao-Ching Wang, Guang-Hsiung Kou, Chu-Fang Lo, dan Wei-Pang Huang. 2007. Identification of Icp11, The Most Highly Expressed Gene of Shrimp White Spot Syndrome Virus (WSSV). Diseases of Aquatic Organisms 74: 179–89.
Wang, Y. G., Shariff P. M., Sudha P. S., Srinivasa Rao M. D., Hassa and L.T. Tan. 1998. Managing White Spot Diseases in Shrimp. Infofish International 3(98): 30-36.
Widodo, D. S. 2002. Uji Patogenitas Virus Bintik Putih (White Spot) Pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan lama waktu perendaman 30, 60 dan 90 menit konsentrasi 100 µg/ml. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Wijayanti, A., E. Susanti dan C. Purbomartono. 1999. Pedoman Praktis Analisis Penyakit Udang. BBPBAP Jepara.
Wyban, J. W dan Sweeney, J. N. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Shrimp Manual. Honolulu, Hawai, USA. 158p.
Zalsabilla, A. 2018. Potensi Mikroalga Dunaliella salina Sebagai Kandidat Antivirus terhadap Ikan Kerapu Cantang (Ephinephelus sp.) yang diinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) Melalui GambaraN Histopatologi Otak, Mata dan Usus. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 117 hlm.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat Penelitian

Lampiran 2. Bahan Penelitian
   
Lampiran 3. Perhitungan Konsentrasi Virus WSSV

Lampiran 4.  Skema Kerja Pewarnaan Preparat Histopatologi

Lampiran 5.  Skema Kerja Pembuatan Preparat Histopatologi

Lampiran 6.  Data Skoring Kerusakan Hipertropi

Lampiran 7. Rancangan Penelitian  
Lampiran 8. Uji Normalitas Survival Rate

Lampiran 9. Data Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Udang Vaname

Lampiran 10. Hasil Pengukuran Kualitas Air
TGL
PERLAKUAN
PARAMETER
SUHU
PH
DO
SALINITAS
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
07/02/2019
K1
27.9
28.0
28.5
7.88
7.88
7.89
5.83
5.85
5.99
26
27
26
K2
28.1
28.4
28.3
7.85
7.87
7.91
5.88
5.94
5.92
27
28
28
K3
28.0
28.1
28.2
7.91
7.93
7.94
5.85
5.99
6.08
27
27
24
A1
27.6
28.5
28.7
7.89
7.91
8.01
5.77
5.65
5.63
26
28
26
A2
27.9
28.2
28.9
7.92
7.93
7.93
5.86
5.78
5.75
23
25
25
A3
28.3
28.3
28.6
7.90
7.94
7.95
5.79
5.69
5.72
24
27
26
B1
27.2
28.2
28.6
7.86
7.90
7.94
5.87
6.15
5.97
25
23
24
B2
28.5
28.2
28.8
7.84
7.87
7.88
5.80
5.85
5.66
25
25
25
B3
27.7
28.0
28.3
7.86
7.88
7.92
5.46
5.48
5.58
24
26
27
C1
27.7
28.7
29.0
7.82
7.83
7.86
5.78
5.80
5.82
27
27
28
C2
28.4
28.0
28.4
7.85
7.92
7.95
5.81
5.80
5.81
26
29
26
C3
27.8
28.2
28.5
7.86
7.94
7.95
5.84
5.87
5.86
26
26
25
08/02/2019
K1
27.4
28.4
28.6
7.82
7.83
7.88
5.78
5.81
5.92
25
26
28
K2
27.6
27.8
28.0
7.79
7.88
7.89
5.76
5.89
5.95
24
23
23
K3
28.2
28.2
28.4
7.86
7.86
7.90
5.82
5.83
5.85
26
26
27
A1
28.1
28.5
28.6
7.84
7.85
7.87
5.84
5.83
5.82
25
25
25
A2
27.9
28.1
28.3
7.92
7.96
7.96
5.85
5.80
5.79
24
27
27
A3
27.5
28.0
27.8
7.84
7.82
7.87
5.88
5.87
5.83
25
23
25
B1
27.2
28.0
28.1
7.84
7.86
7.89
5.89
5.90
5.88
27
26
26
B2
27.1
28.4
28.2
7.83
7.87
7.90
5.76
5.88
5.91
26
25
25
B3
27.6
27.7
27.9
7.90
7.91
7.95
5.77
5.77
5.78
24
23
26
C1
27.5
28.0
28.5
7.82
7.87
7.90
5.84
5.83
5.83
26
23
25
C2
27.8
28.0
28.3
7.85
7.87
7.88
5.88
5.89
5.86
26
27
24
C3
27.9
28.6
27.7
7.90
7.93
7.96
5.82
8.84
5.92
25
26
26
09/02/2019
K1
27.7
28.4
29.0
7.85
7.89
7.81
5.79
6.03
5.76
28
30
25
K2
27.3
28.1
29.0
7.89
7.86
7.87
5.85
5.94
5.80
26
24
24
K3
27.8
28.3
29.0
7.89
7.86
7.87
5.82
5.98
5.96
26
29
25
A1
27.7
27.9
28.6
7.87
7.85
7.81
5.78
5.80
5.85
25
24
26
A2
27.9
28.1
28.5
7.84
7.80
7.74
5.81
5.84
5.82
27
26
26
A3
28.1
28.7
28.2
7.89
7.82
7.77
5.83
5.86
5.86
26
27
27
B1
27.9
29.0
28.5
7.85
7.87
7.86
5.79
5.83
5.87
25
27
25
B2
27.8
28.6
28.4
7.92
7.89
7.91
5.88
5.91
5.89
28
26
27
B3
27.6
28.0
27.8
7.88
7.83
7.95
5.85
5.88
5.91
27
27
28
C1
28.2
28.9
27.6
7.93
7.94
7.89
5.84
5.86
5.93
28
25
27
C2
27.9
28.0
27.9
7.95
7.96
7.91
5.86
5.89
5.89
27
26
27
C3
27.8
29.1
27.5
7.89
7.90
7.89
5.89
5.91
5.87
26
25
28
10/02/2019
K1
28.4
28.7
29.1
7.92
7.92
7.97
5.99
5.90
5.96
24
28
28
K2
27.7
28.3
28.9
7.97
7.96
8.01
6.00
5.86
5.84
25
27
25
K3
28.2
28.5
28.9
7.95
7.95
7.99
5.84
5.93
5.85
24
27
28
A1
28.3
28.8
28.2
7.92
7.92
7.96
5.83
5.94
5.82
25
26
27
A2
27.6
28.7
28.5
7.89
7.89
7.98
5.82
5.87
5.88
26
25
28
A3
27.9
28.1
28.6
7.88
7.86
7.95
5.87
5.86
5.83
26
26
26
B1
28.0
29.2
28.1
7.85
7.89
7.91
5.85
5.92
5.85
25
24
27
B2
28.3
29.0
27.9
7.93
7.94
7.94
5.88
5.94
5.82
27
26
26
B3
28.8
28.9
27.6
7.95
7.92
7.96
5.79
5.96
5.89
26
24
28
C1
27.6
28.0
27.9
7.93
7.97
7.98
5.85
5.88
5.87
26
23
25
C2
27.6
28.1
27.8
7.91
7.92
7.94
5.83
5.87
5.85
26
24
26
C3
28.1
28.5
27.7
7.87
7.89
7.92
5.85
5.86
5.89
26
26
27
11/02/2019
K1
28.0
28.5
27.4
7.96
7.87
8.01
5.97
6.15
6.11
27
29
27
K2
27.6
28.3
27.1
7.99
7.93
8.03
6.06
5.88
5.85
23
25
23
K3
28.3
28.6
27.4
7.96
7.91
8.00
5.64
5.48
5.60
26
30
27
A1
27.4
28.5
27.9
7.92
7.90
7.89
5.72
5.44
5.67
25
24
25
A2
27.6
28.3
27.8
7.91
7.86
7.92
5.74
5.68
5.69
27
25
24
A3
27.9
28.4
27.5
7.87
7.85
7.94
5.72
5.70
5.66
26
24
26
B1
26.8
28.6
27.8
7.86
7.90
7.96
5.82
5.72
5.65
25
27
24
B2
27.2
28.6
28.2
7.83
7.96
8.02
5.73
5.80
5.68
24
26
27
B3
27.8
28.7
28.1
7.88
8.01
7.93
5.68
5.93
5.72
26
24
26
C1
27.6
28.4
28.2
7.85
7.89
7.95
5.67
5.76
5.74
24
27
25
C2
27.3
28.2
27.9
7.87
7.88
7.86
5.81
5.72
5.72
25
28
24
C3
27.5
28.2
27.6
7.92
7.83
7.84
5.83
5.67
5.69
26
28
26
12/02/2019
K1
27.7
29.4
28.7
7.98
7.96
7.90
5.86
5.80
5.81
25
27
25
K2
26.9
29.3
28.3
8.03
8.01
8.00
5.88
5.73
5.94
23
24
25
K3
27.4
29.0
28.7
8.00
7.99
7.96
5.81
5.93
6.06
27
24
26
A1
27.2
28.7
28.2
8.03
8.01
7.92
5.79
5.81
5.98
25
28
25
A2
27.6
28.7
28.5
7.89
8.01
7.94
5.76
5.73
5.89
26
29
27
A3
27.8
28.9
28.6
7.92
7.90
7.96
5.82
5.75
5.93
25
29
26
B1
27.5
28.3
28.2
7.94
7.88
7.98
5.85
5.89
5.95
24
29
25
B2
27.9
28.1
27.9
7.89
8.06
8.02
5.88
5.89
5.96
27
24
26
B3
27.5
28.0
27.7
7.86
8.05
7.92
5.82
5.64
5.88
26
26
25
C1
27.7
28.5
28.2
7.88
7.94
7.93
5.83
5.73
6.02
25
26
24
C2
27.5
28.1
28.1
7.92
7.91
7.89
5.87
5.81
5.93
23
26
26
C3
27.8
28.8
28.3
7.95
8.03
7.87
5.78
5.82
5.87
26
27
25
13/02/2019
K1
26.5
27.6
27.9
7.94
7.89
7.84
6.15
5.76
5.82
27
29
25
K2
26.3
27.6
27.7
8.02
8.00
7.88
6.00
5.80
5.75
24
25
24
K3
26.4
27.5
27.8
7.99
7.96
7.84
6.07
5.89
5.73
27
28
26
A1
26.9
28.1
28.2
7.87
7.88
7.79
6.03
5.98
5.76
26
27
23
A2
26.7
27.6
27.9
7.92
7.87
7.83
5.99
5.27
5.82
25
29
25
A3
27.2
27.9
27.5
7.94
7.79
7.89
6.01
5.79
5.85
26
29
24
B1
27.5
27.8
27.9
7.93
7.83
7.85
5.89
5.68
5.79
25
30
27
B2
26.8
27.0
27.5
7.95
7.76
7.83
5.96
5.86
5.83
26
28
23
B3
26.5
27.1
27.4
7.89
7.79
7.78
5.93
5.81
5.77
24
28
25
C1
27.2
28.3
28.6
7.87
7.76
7.81
5.95
5.87
5.82
26
26
24
C2
27.5
28.7
28.3
7.86
7.73
7.78
5.98
5.87
5.79
25
26
23

C3
26.9
28.9
28.6
7.88
7.74
7.83
5.96
5.80
5.81
26
27
25

Post a Comment for "Histopatologi Limfoid Udang Vaname Yang Diinfeksi WSSV"