
Prolog
Di jantung Kalimantan, di antara kabut rimba lebat dan desir sungai yang tak
henti bergemuruh, tersimpan dua bilah Mandau pusaka yang tak tertandingi. Satu
ringan seperti bayangan burung Tingang, satu lagi berat seperti sumpah leluhur.
Keduanya ditempa dari batu yang hanya dikenal dalam bisikan roh dan doa para
tetua: batu besi Sanaman Mantikei. Kini, kisah mereka harus dibangkitkan
kembali, karena pemilik baru telah bermimpi.
Bab 1: Tanda-Tanda dari Langit (Tahun 1780)
Kabut pagi di pegunungan Mantikei tidak seperti biasanya. Para pemburu dari
suku Kayan yang bermukim di pinggir Sungai Mahakam melihat jejak aneh di
tanah—bekas terbakar tapi tidak ada api, bau logam tapi juga seperti racun yang
menusuk.
Telang Lahang, pemuda pewaris garis utama Kayan, mendapat penglihatan dalam
mimpinya: seekor ular abu-abu melingkar di sekeliling batu yang memantulkan
cahaya. Leluhur dalam mimpi berbisik, "Temukan batu yang bau seperti
racun, ia akan menjadi pelindungmu dalam perang panjang."
Dipimpin oleh Tetua Ngurei, perjalanan mereka dimulai. Namun Mantikei bukan
hutan biasa. Tiap langkah harus disertai doa. Tiga kali mereka mendirikan altar
kecil dari akar dan sirih, meminta izin dari penjaga tanah. Dalam perjalanan
mereka diganggu oleh suara lolongan tanpa wujud, dan pada malam ketiga, satu
pemburu hilang.
Akhirnya mereka menemukan batu itu: abu-abu gelap, berat, dengan aroma
seperti bisa. Batu itu terasa hidup, berdenyut seperti nadi. Batu ini—kata
Tetua Ngurei—harus ditebus dengan darah ayam hitam dan ditanam semalam di tanah
adat sebelum ditempa.
Pembuatan Mandau pun dilakukan dalam ritual tujuh malam. Api dijaga oleh
perempuan tua yang tidak pernah bicara, dan palu besi dipukul mengikuti irama
nyanyian roh. Gagang Mandau dibuat dari tanduk rusa jantan yang mati karena
tua, dihias ukiran bintang lima dan satu lubang kecil seperti
"mata", lambang pengawas dari dunia seberang.
Mandau itu berat, penuh aura, dan mengeluarkan bau seperti racun setiap
kali terkena panas. Mandau ini kelak akan digunakan dalam konflik antara Kayan
dan suku asing yang mencoba merebut ladang garam mereka.
Bab 2: Jejak Ringan di Kabut (Tahun 1820)
Empat dekade berlalu, giliran suku Kenyah yang menerima panggilan dari
leluhur. Lung Batu, pemuda dengan garis darah ketua adat, melihat mimpi tentang
burung Tingang membawa rambut manusia, lalu terbang di atas batu terang
tanpa bau. Batu itu mengambang di dalam air dan tidak tenggelam.
Dipandu oleh neneknya, seorang penyimpan ilmu adat, Lung Batu bersama lima
orang pilihan menyusuri sungai hingga ke hulu Mantikei. Selama perjalanan,
mereka harus melewati wilayah rawan konflik, sebab saat itu terjadi gesekan
antara Kenyah dan kelompok migran dari timur yang membawa teknologi baru dan
merusak hutan.
Setelah 21 hari, mereka menemukan batu tanpa bau, ringan, dan bercahaya
seperti meteorit. Batu itu ditemukan di dasar gua sempit yang hanya bisa
diakses saat matahari tepat di atas kepala.
Proses penempaan Mandau dilakukan dengan cara kuno: tempusar dibuat dari
rotan tiga simpul, tetapi yang tengah membelah dua sendiri—tanda dualitas
kekuatan. Gagangnya diukir dari kayu keras tua, dan dihiasi rambut manusia
hasil persembahan dari garis keturunan Lung Batu. Bilahnya diberi 20 guratan
di bilah dan punggung, sebagai tanda jumlah pengorbanan yang dilakukan selama
pencarian.
Mandau ini ringan, nyaris tak terasa saat dipegang, tapi mampu membelah
kayu keras tanpa goresan. Ia adalah simbol penjaga budaya, bukan
penumpah darah.
Bab 3: Bara di Tanah Para Penjaga (Tahun 1780)
Kabut dingin menyelimuti perbukitan di hulu sungai Barito ketika Datu
Lanting memimpin sepuluh orang dari suku Kayan menyusuri jalur kuno menuju
lembah Sanaman Mantikei. Tahun itu adalah 1780—tahun yang kelak dikenang
sebagai awal dari Mandau Kedua yang melegenda. Lembah itu dijaga cerita tua:
bahwa batu besi yang tumbuh di perut bumi tidak bisa diambil oleh tangan
sembarangan. Mereka menyebutnya batu besi beracun, karena siapa pun yang
tidak diberkahi oleh roh penjaga akan terjangkit penyakit aneh atau bahkan
hilang di hutan.
Langkah kaki mereka menyisakan jejak basah di tanah merah. Mereka menuruni
rimba yang dalam, di mana pohon-pohon tinggi membentuk katedral alam yang
suram. Di balik semak rotan dan pepohonan meranti tua, suara burung enggang
terdengar seperti pertanda. Setiap malam, para lelaki Kayan melakukan upacara tawar,
membakar kulit kayu tengkawang dan membisikkan mantra kepada roh leluhur
agar diberi izin menyentuh batu yang dijaga.
Tiga hari berjalan, mereka tiba di tepi sebuah lembah gelap dengan formasi
batu berwarna abu-abu pekat, tersusun tak alami seperti ditanam oleh tangan
raksasa. Datu Lanting mengenali tanda yang digambarkan dalam mimpi: formasi
segitiga di atas batu, dan bau tajam seperti bisa ular tercium samar-samar dari
sela-selanya.
Mereka memecah satu bongkah kecil. Berat dan padat, namun bila disentuh,
terasa dingin menusuk. Batu ini berbau seperti racun, seperti ampas dari dunia
roh. Tua-tua kampung menyebutnya "Besi Batu Sanaman Mantikei - Racun
Dunia", dan hanya bisa ditempa dalam kobaran api sakral, yang
dinyalakan dengan minyak dari buah kapul dan arang kayu ulin.
Kembali ke kampung, selama tujuh purnama batu itu disimpan di balei
pusaka. Para pandai besi menunggu tanda lewat mimpi sebelum berani
menempanya. Dalam ritual penempaan, seekor ayam putih dikorbankan, darahnya
diteteskan ke batu yang dipanaskan agar tidak "menyerang" sang empu.
Setelah berhari-hari tempa, bilah Mandau mulai terbentuk: tebal, keras, namun
aura kelamnya terasa. Pada gagangnya, ditanamkan ukiran bintang lima, simbol
perlindungan roh penjaga langit.
Namun, tak semua warga senang. Ada yang iri. Malam hari, kampung diserbu
oleh suku pesaing dari timur laut. Mereka ingin mencuri bilah yang dipercaya
membawa kekuatan gaib. Terjadilah perang pendek namun berdarah. Dalam duel,
Mandau yang belum diberi mata (bilah kecil) tetap mampu menebas musuh
dengan sekali tebas. Datu Lanting menamai pusaka itu: “Penjaga Racun Dunia.”
Mandau Kedua lahir dalam nyala perang, darah, dan api, dengan roh leluhur
menjadi saksi.
Bab 4: Cahaya dari Batu yang Hening (1820)
Tahun 1820, hutan Sanaman Mantikei kembali disusupi langkah-langkah para
pelacak dari suku Kenyah Uma Lasa. Berbeda dengan pengembaraan generasi
sebelumnya yang mencari batu hitam berbau racun, rombongan kali ini dipimpin
oleh Lahang Bahe, seorang pengemong adat yang disegani karena
ketenangannya dalam membaca tanda-tanda alam. Tujuan mereka: mencari batu besi
langka yang telah tampak dalam mimpi seorang tetua kampung, Tama Ngala,
selama tiga purnama berturut-turut.
“Batu itu tidak berbau,” kata Tama Ngala dalam pertemuan malam di tanah
tanai. “Warnanya seperti air malam—hitam keperakan, dan di dalamnya
berdenyut pamor seperti riak langit setelah petir.”
Para pembuat Mandau dari garis darah Kenyah mengerti bahwa itu bukan batu
biasa. Ia bukan batu dari perut bumi semata, melainkan serpihan semesta yang
jatuh hanya pada tempat dan waktu tertentu. Batu jenis itu disebut Batu Besi
Sanaman Mantikei Senyap, berbeda dari batu berbau racun yang telah dibuat
menjadi Mandau Kayan empat puluh tahun sebelumnya.
Perjalanan Melintasi Gunung dan Kabut
Dua minggu mereka menjelajahi wilayah hutan bagian utara, melintasi Gunung
Lagan Puruk dan lembah Sungai Besua yang tertutup kabut. Beberapa
kali rombongan disesatkan oleh suara-suara tanpa rupa—suara pasak nyawa
yang menurut Lahang Bahe adalah ujian dari leluhur. Namun pada malam ke-16, di
bawah cahaya bulan yang tak penuh, mereka tiba di sebuah lembah sunyi tempat
tanaman tumbuh aneh dan angin mengendap.
Di sana, di balik batu besar menyerupai kepala ular, mereka menemukan batu
yang tampak “menyala diam.” Ketika disentuh, batu itu dingin, ringan, dan
berpamor lembut seperti dilukis dengan tangan roh. Tidak ada bau logam, tidak
ada lendir racun. Batu itu seolah bersih dari kutuk, namun menyimpan kekuatan
dalam keheningan.
Penempaan Mandau Pertama
Setibanya di kampung, proses penempaan tidak bisa langsung dilakukan. Harus
ada ritual tiga malam: Nyelau Langit, Ngunub Batu, dan Manik
Bungan. Tiga dukun pang tembawang dipanggil dari hulu untuk
memanggil urung leluhur agar roh batu tidak meninggalkan bilah Mandau
saat ditempa.
“Batu ini ringan, tapi tidak lunak. Bilahnya akan bisa memotong air dan
mencabik bayangan,” kata tukang tempa bernama Pangin Sura, seorang tua
dari garis leluhur pembuat Mandau utama suku Kenyah.
Proses tempa memakan waktu lebih lama dari Mandau lainnya. Bilahnya tidak
dapat dipanaskan terlalu lama, karena jika tidak, pamornya akan hilang seperti
kabut pagi. Setiap malam, bilah digosok dengan minyak dari sarang burung dan
akar ulin, lalu dijaga oleh tiga pemuda yang tidak boleh bicara selama 9 malam.
Setelah tiga minggu, Mandau itu lahir. Bilahnya berpamor seperti meteor,
tidak ada satu pun ukiran damaskus yang menyamai pola ini. Terdapat 20
guratan halus di sisi bilah dan punggungnya—lambang 20 nyawa pelindung dari
garis tua Kenyah. Gagangnya dari kayu tengkawang, diikat rambut manusia
dari upacara penebusan jiwa. Tempusar-nya tiga, tapi tempusar tengah membelah
menjadi dua, tanda bahwa Mandau ini memiliki dua jalur perlindungan:
jasmani dan ruhani.
Penobatan Mandau
Mandau ini diberi nama "Pangkatn Tana Bulan", artinya
“Bayangan Tanah Bulan”. Ia disematkan kepada kepala adat muda, Angan Sura,
yang menggantikan pamannya yang gugur. Dalam upacara pengesahan, bilahnya
digunakan untuk membelah sebatang bambu ulin dalam sekali tebas. Darah ayam
putih diteteskan ke pangkal bilah, menandai bersatunya darah manusia dan logam
langit.
Mitos kemudian menyebar bahwa Mandau ini bisa “menolak kematian”—jika
dipakai oleh pemilik sejati, tubuhnya tak dapat disentuh panah atau racun.
Masyarakat Kenyah menganggap Mandau ini sebagai alas jiwa, pusaka yang
bukan hanya senjata, tapi arah hidup.
Bab 5: Pertemuan Dua Bayangan (1821)
Satu tahun setelah Mandau Pangkatn Tana Bulan ditempa dan
disematkan, udara di pedalaman Mantikei mulai berubah. Bukan karena musim,
melainkan karena pergerakan manusia. Di utara, suku Kayan Uma Apan mulai
membangun benteng kecil dari kayu keras. Mereka mencium kabar bahwa suku Kenyah
telah mendapatkan Mandau dari batu besi langit yang ringan dan berpamor.
Sementara itu, di hulu sungai Karasung, Mandau kedua—yang ditempa
dari batu besi Mantikei tahun 1780, berbau seperti racun dan berat
seperti kutukan bumi—disimpan dalam peti kayu berukir. Mandau ini dikenal
sebagai “Langit Nyungkal Tanah”, dan telah digunakan dalam setidaknya
dua perang besar: Perang Tebing Karayan (1791) dan Perang Puncak
Laman (1798). Kini, setelah 40 tahun berlalu, bilahnya mulai bergetar lagi,
seolah memanggil darah baru.
Isyarat dari Alam
Di malam bulan mati, seekor burung tingang—simbol roh agung
Dayak—melintas di atas kampung Uma Lasa dan jatuh tepat di depan tanai
pangulun. Tubuhnya utuh, tidak luka, namun matanya putih seluruhnya. Tetua
adat membaca ini sebagai pertanda bahwa dua kekuatan lama akan bersua
kembali, bukan karena kehendak manusia, melainkan panggilan semesta.
Angan Sura, pembawa Mandau Kenyah, mendapat mimpi berulang:
Ia berdiri di antara dua batu besar. Di satu sisi, Mandau berpamor langit
menyala lembut, di sisi lain, Mandau berat dengan bau racun menetes seperti
embun dari punggungnya. Di belakangnya, ratusan sosok berwajah sama—leluhur
dari dua suku—berteriak tanpa suara.
Ritual Persiapan
Di Kenyah, upacara Panyang Tua Nyelu digelar untuk membaca arah roh
leluhur. Di Kayan, Ngusu Kayun dilakukan di perapian utama kampung.
Kedua suku menyadari: bentrokan bukanlah sekadar tentang tanah, tapi tentang
kehendak pusaka. Mandau yang ditempa dari batu langit dan batu racun tidak
bisa berada terlalu lama dalam jarak dekat—mereka membawa kekuatan yang saling
tolak.
Kisah ini membuat ketakutan dan kagum tersebar ke kampung-kampung lain.
Para penjelajah, dukun, dan pemburu kepala mulai berdatangan untuk menjadi
saksi atau sekadar mencari untung dari konflik yang akan datang. Namun para
tetua tahu: bila kedua Mandau bertemu, darah pasti tumpah.
Pertemuan Pertama
Terjadi di lembah Lamin Timan—tanah netral yang dipercaya sebagai
tempat berkumpul roh-roh perantara. Tidak ada bentrokan saat itu, hanya
tatapan. Angan Sura bertemu dengan pemilik Mandau Kayan, seorang pria pendiam
bernama Burang Datu, cucu dari pejuang Perang Karayan.
Burang Datu membuka sarung Mandau-nya. Bilah menghitam pekat, aromanya
membuat burung-burung di pohon terdiam. Di gagangnya, terdapat ukiran
bintang lima dan lubang kecil menyerupai mata, yang dipercaya sebagai
pengawas roh jahat.
Angan Sura juga membuka sarung Mandau-nya. Cahaya tipis meluncur dari
pamornya, menyapu tanah dengan kilau keperakan.
Kedua bilah tidak bersentuhan. Tapi tanah di antara mereka retak tipis
seperti dicakar petir.
Para tetua dari kedua pihak memutuskan: pertemuan selanjutnya harus dalam
bentuk ritual duel kehormatan, bukan perang besar, agar darah yang tumpah tidak
membangunkan roh-roh lama yang lebih haus dari manusia.
Bab 6 – Darah di Tanah Penjaga (1822)
Lamin Timan kini sunyi. Tanahnya yang dahulu menjadi tempat netral kini
dipersiapkan untuk sebuah duel kehormatan. Namun ini bukan sembarang
duel. Ini adalah ritual penguji kehendak pusaka, hanya boleh dilakukan
oleh pewaris darah asli dan dihadiri oleh saksi roh leluhur melalui pemanggilan
roh di tengah gelanggang.
Duel Tanpa Dendam
Angan Sura dan Burang Datu berdiri berhadapan, dengan tubuh yang tidak
ditutupi pelindung apa pun kecuali ukiran suku di dada dan lengan mereka. Di
sekeliling mereka, tetua dari Kenyah dan Kayan duduk bersila, bersama pemangku
adat dari kampung tetangga. Api unggun dinyalakan dari batang kayu pulung
pelian, kayu yang hanya boleh dipakai pada malam penentuan nasib besar.
Sebelum duel, seorang pemimpin upacara dari suku Ot Danum bernama Tuu
Liau memanggil roh pelindung melalui tarian mangakuq. Ia membacakan
mantra yang telah diturunkan sejak zaman sebelum tulisan:
“Jika ini hanya karena manusia, biarlah Mandau diam. Tapi jika ini karena
kehendak semesta, biarlah bilah berbicara.”
Dan bilah memang berbicara.
Saat kedua Mandau diangkat, angin diam. Daun berhenti bergetar. Burung
tingang di pohon tinggi mendadak jatuh tanpa suara.
Mandau Melawan Mandau
Mandau Pangkatn Tana Bulan berkilau seperti mata langit. Ringan dan
cepat, dalam setiap tebasannya seolah menari mengikuti angin. Mandau Langit
Nyungkal Tanah, berat dan bergemuruh, seperti tanah yang retak sebelum
gunung meletus. Bau racunnya membuat beberapa saksi harus menjauh karena
pusing.
Tebasan tidak diarahkan ke tubuh
lawan, tetapi ke lambang suku yang digantung di tiang kayu—ujian untuk
mengukur kekuatan bilah dan roh di dalamnya. Dalam satu sabetan, Mandau Kenyah membelah lambang Kayu Lawung menjadi dua
bersih, tanpa bunyi. Dalam satu hentakan, Mandau Kayan membuat lambang Kenyah
hancur seperti digerogoti dari dalam, dan tiangnya pecah di pangkalnya.
“Keduanya... hidup,” bisik Tuu Liau, “dan keduanya... tidak ingin tunduk.”
Maka duel dihentikan bukan karena kalah-menang, melainkan karena tanah
mulai retak halus, dan suara samar tangisan terdengar dari dalam bumi.
Saksi Tak Terduga
Di kejauhan, dari balik pohon beringin tua, seorang anak muda dari
suku Punan melihat semuanya. Namanya Sarung Lesan, cucu seorang
penambang batu langka. Ia tidak sengaja berada di sana, dikirim ayahnya untuk
mencari akar pengobatan.
Sarung Lesan melihat sesuatu yang tidak disadari para tetua: bayangan
hitam yang muncul sesaat saat kedua Mandau berhadapan. Bayangan itu
memiliki mata merah, dan mencakar udara.
“Itu bukan bayangan manusia,” katanya saat pulang. Tapi tidak ada yang
percaya.
Namun malam itu, Sarung Lesan mencatat semuanya dalam kulit kayu lipat,
dan menyimpannya dalam peti akar pohon. Ia bersumpah menjadi penjaga rahasia
Mandau Kembar, dan kelak anak cucunya akan tahu kebenaran.
Bab 7 – Gerbang yang Terbuka (1823)
Di malam yang senyap di tepian sungai Mantikei, Sarung Lesan
bermimpi. Ia melihat seekor burung Tingang raksasa, dengan mata bercahaya dan
suara yang seperti berasal dari dalam gunung. Burung itu tak hanya terbang,
tapi mengelilingi langit dalam pusaran, dan dalam pusaran itu muncul
wajah-wajah leluhur dari suku Kenyah dan Kayan, menangis dan memperingatkan.
“Gerbang telah terbuka… dan darah akan menuntut janji.”
Ketika Sarung Lesan terbangun, kulitnya dingin seperti baru direndam dalam
sungai. Di kakinya, bekas cakaran tiga jari menempel seperti arang,
meski ia tidur sendirian.
Tamu Tak Diundang
Beberapa hari kemudian, rombongan asing dari utara datang. Mereka
mengaku dari suku yang telah lama meninggalkan hutan dan kini hidup di daerah
dataran rendah. Mereka mencari Mandau berpamor batu langit, konon karena
seorang balian mereka mendapat wangsit bahwa "batu roh" itu
bisa membuka kekuatan dunia bawah.
Mereka menawarkan emas, kain sutra dari Tiongkok, bahkan cermin
tembaga. Tapi para tetua menolak. Terutama Burang Datu, yang menjaga
Mandau Kayan, dan Angan Sura, pewaris Mandau Kenyah.
Namun malam itu, Mandau Kenyah
nyaris dicuri.
Pelaku tidak ditemukan. Tapi jejak kaki kecil, tak lebih besar dari telapak
tangan anak-anak, ditemukan di sekeliling tempat penyimpanan. Dan bilah Mandau
ditinggalkan dengan goresan baru—sebuah lambang mata tertutup.
Pertemuan di Hutan Sunyi
Sarung Lesan, yang terus meneliti pengaruh batu Mantikei, bertemu dengan Lang
Liau, tetua dari suku kecil bernama Bukit Lango. Suku ini sudah lama
hilang dari sejarah karena memilih hidup di dalam gua batu kapur dekat hulu
Sungai Ulu Mahakam. Lang Liau membawa cerita yang tak pernah dicatat:
“Dahulu, ada tiga Mandau. Dua disepuh oleh tangan manusia. Satu—dibentuk
oleh roh. Tapi Mandau roh itu tidak bisa dibuat dari batu biasa. Hanya batu
yang disiram darah hewan pertama dan dikubur selama tiga musim hujan.”
Ia juga menjelaskan bahwa jika kedua Mandau — milik Kenyah dan Kayan —
disatukan dalam ritual salah waktu, maka gerbang roh bawah akan terbuka.
Dan Tingang Koai, burung penjaga dunia tengah, akan pergi… membiarkan
dunia manusia dimasuki roh kelam.
Malam Pembuktian
Satu malam di bulan mati, Sarung Lesan mencoba menguji kebenaran cerita
Lang Liau. Ia meletakkan serpihan batu Mantikei dari tahun 1820 dan 1780 di
atas altar akar pohon pulung, lalu membacakan mantra penutup roh dari naskah
tua Punan.
Langit tidak menjawab.
Tapi tanah bergetar.
Dan dari dalam tanah itu muncul uap tipis—dari batu abu-abu Mandau
kedua—yang menebarkan aroma beracun. Bukan belerang, bukan bangkai, tapi
seperti bau yang membuat tubuh ingin mundur dan pikiran ingin melupakan.
Ia tahu: batu itu menyimpan
sesuatu.
Bab 8 – Nyanyian Roh di Hutan Bisu (1824)
Setahun setelah malam gemetar itu, udara di seluruh lembah Sanaman Mantikei
terasa berat. Bukan karena cuaca, melainkan karena mimpi-mimpi yang mulai
seragam dialami oleh para tetua dari berbagai suku: burung Tingang terbakar
di langit, Mandau terangkat sendiri dan menari di udara, dan tanah hutan
menganga seperti mulut raksasa memanggil darah.
Sarung Lesan mulai menyadari bahwa pengaruh batu besi Sanaman
Mantikei lebih dari sekadar kekuatan logam. Batu itu adalah penyimpan memori
dunia roh, dan bilah-bilah yang ditempa dari batu itu adalah alat untuk
membuka percakapan antara dunia manusia dan dunia gaib.
Rapat Tiga Suku
Atas prakarsa Sarung Lesan dan tetua Bukit Lango, pertemuan besar
diselenggarakan di Bukit Lawung Tingang, tempat yang dianggap sakral
oleh ketiga suku: Kenyah, Kayan, dan Bukit Lango.
Angan Sura dan Burang Datu hadir, membawa
masing-masing Mandau. Mereka tahu, jika keduanya dibiarkan terus berada di
dunia tanpa arah, kehancuran tak terelakkan.
Tetua Bukit Lango membawa naskah daun tua, yang mencatat tentang perjanjian
tiga pusaka:
“Bila dua bilah dari batu langit dan batu racun disatukan tanpa penyeimbang
ketiga, roh penjaga tidak akan lagi melindungi manusia. Tapi membalas.”
Namun pusaka ketiga telah hilang—diduga disimpan atau dikuburkan sejak
ratusan tahun sebelumnya.
Konflik Meletus
Kabar tentang “Mandau pengendali roh” menyebar ke luar Kalimantan, bahkan
ke perbatasan orang-orang yang mulai datang dari barat. Seorang saudagar dari
wilayah pesisir menawarkan senjata api dan garam untuk menukar salah
satu Mandau. Ia ditolak, lalu menyewa tentara bayaran dari Sulu untuk
mencuri Mandau Kayan.
Penyerangan malam hari dilakukan di kampung Uma Apan. Meskipun gagal karena
pertahanan spiritual kampung yang kuat, peristiwa itu menyebabkan tiga tetua
tua meninggal karena histeria setelah melihat bayangan besar bermata
merah saat Mandau Kayan hampir diambil.
Rakyat percaya: bukan manusia yang menjaga Mandau, tapi roh yang telah
terikat di dalamnya.
Sarung Lesan Menyembunyikan
Kebenaran
Melihat kekacauan semakin tak
terkendali, Sarung Lesan mengambil keputusan: salah satu Mandau harus
disembunyikan.
Malam itu ia mencuri satu
bilah—namun tidak dikatakan yang mana—dan membawanya ke gua Ulin Liang Nitu,
tempat di mana ia dulu pernah melihat roh leluhur berdiri tanpa suara.
Di dalam gua, ia mengubur Mandau
bersama minyak tengkawang, darah ayam hitam, dan tiga manik peninggalan tua,
lalu menyegel mulut gua dengan tanah liat dan mantra yang hanya dikenal oleh
satu garis keturunan.
“Agar bumi tidur kembali, agar roh pulang ke asal.”
Bab 9 – Waktu yang Terbelah
(1825)
Setelah salah satu Mandau
menghilang, suasana di lembah Mantikei berubah drastis.
Kampung Uma Apan—tempat Mandau Kayan sebelumnya disimpan—dilanda kemarau
aneh. Sungai menyusut, ikan menghilang, dan suara hutan seperti mati. Tidak
ada lagi burung bersahut, tidak ada nyanyian katak malam. Seolah seluruh alam
tahu: ada pusaka yang telah diambil dari tempatnya.
Sementara itu, kampung Uma Lasa milik Kenyah justru mengalami
mimpi-mimpi aneh. Anak-anak muda mulai bermimpi melihat Mandau ringan
berpamor langit menari di udara, bercahaya, dan mengajak mereka menuju
hutan terdalam.
Sarung Lesan Dituduh
Ketika suara-suara menyebutkan nama Sarung Lesan, para tetua mulai
curiga. Ia yang paling dekat dengan kedua Mandau. Ia juga satu-satunya yang
mengetahui kisah lengkap batu besi Sanaman Mantikei, bahkan dari masa sebelum
Mandau itu ditempa.
Pada awal 1825, Sarung Lesan dipanggil ke Balai Adat Tua dan ditanya
satu hal:
“Di mana satu bilahnya?”
Sarung Lesan hanya menjawab:
“Di tempat di mana tanah tidak bicara dan angin tidak berbalik.”
Tak ada yang paham.
Namun setelah malam itu, mimpi buruk mulai mereda. Di satu sisi,
para tetua mulai mempertanyakan apakah Mandau memang sudah sepatutnya
disembunyikan dari manusia. Di sisi lain, sebagian pemuda mulai merasa tertarik
mencari pusaka tersebut, bukan untuk dijaga—melainkan untuk dikendalikan.
Tanda-Tanda Kelahiran Generasi Baru
Seorang anak bernama Lupang Tengkai, dari suku Bukit Lango, bermimpi
selama tujuh malam berturut-turut. Dalam mimpinya, ia melihat sebuah batu
abu-abu berbentuk bilah, dikelilingi cahaya biru, dan suara yang berbisik: “Aku
belum selesai...”
Lupang Tengkai mulai menggambar pamor yang tak pernah diajarkan
padanya—pamor yang mirip dengan Mandau pertama, pamor langit seperti
riak cahaya.
Para tetua sadar: roh di dalam batu belum pulang.
Dua Roh dalam Dua Batu
Dari naskah lama yang ditemukan
oleh tetua Kenyah, tertulis bahwa batu Sanaman Mantikei bukan batu
biasa. Ia dianggap “batu hidup”, yang hanya muncul pada waktu tertentu
dan diambil oleh jiwa yang terpilih. Jika digunakan tanpa restu roh penjaga batu, maka bilahnya akan menolak,
bahkan membunuh pemiliknya secara perlahan.
Kedua Mandau—baik yang dari tahun
1780 (Kayan, bau seperti racun) maupun tahun 1820 (Kenyah, ringan
dan bercahaya)—mengandung roh yang bertolak belakang. Satu adalah penjaga,
satu adalah penuntut. Bila keduanya bergabung dalam satu medan tanpa
keseimbangan, waktu akan terbelah: masa lalu dan masa depan bercampur.
Dan tanda-tanda percampuran itu mulai terlihat.
Seorang ibu dari suku Ot Danum mengaku melihat anaknya berbicara dalam
bahasa nenek moyangnya yang telah punah, dan seorang lelaki tua mendengar
nyanyian ngayau padahal tidak ada yang bernyanyi.
Bab 10 – Mandau Kembali ke Langit (1826)
Langit Mantikei ditutup awan hitam pekat, meski hari belum siang. Daun-daun
tidak berguguran, tapi suara mereka seperti berbisik dalam ketegangan. Burung
tingang, yang biasanya bertengger tinggi, tak terlihat. Roh hutan sedang
menunggu.
Di malam yang ganjil itu, Sarung Lesan akhirnya berdiri di tengah Lamin
Batu Tamiang, bersama Angan Sura dan Burang Datu. Tak ada
lagi kemarahan di mata mereka—hanya kelelahan dari perjalanan panjang, dan
kesadaran bahwa semua ini bukan milik mereka pribadi. Mandau adalah
titipan alam.
Pengakuan Terakhir
Dengan suara lirih yang bercampur kabut malam, Sarung Lesan berbicara:
“Mandau itu aku kubur di Liang Nitu. Tempat di mana suara tak bisa masuk,
dan roh hanya datang jika dipanggil dengan jujur.”
Burang Datu menunduk. Ia tahu, keputusan itu menyelamatkan
lebih dari satu generasi. Angan Sura menatap Sarung Lesan dengan mata
merah lembab, bukan karena benci, tapi karena ia tahu bahwa lelaki muda itu
telah memikul beban yang seharusnya menjadi warisan banyak kepala adat.
Malam itu, mereka bertiga melakukan ritual terakhir: Hikatn Luun,
upacara pemulangan roh yang tinggal dalam bilah Mandau.
Mereka membawa dua Mandau:

- Pangkatn Tana Bulan (1820) milik suku Kenyah, ringan, berpamor langit, gagangnya dari kayu berhias rambut manusia dan 20 guratan tanda pertempuran.

- Langit
Nyungkal Tanah
(1780) milik suku Kayan, berat, berbau seperti racun, gagang
bertanduk rusa, berhias ukiran bintang lima, lubang berbentuk mata, dan 50 lebih guratan tanda pertempuran.
Mereka menanam kedua Mandau tersebut di titik pertemuan tiga sungai:
Sungai Mantikei, Sungai Karasung, dan Sungai Batu Lalau, diiringi oleh doa
dan nyanyian tua yang hanya dikenal oleh para Pangalima Roh.
Gerbang Tertutup
Saat upacara selesai, angin
berhenti berembus. Dari langit turun
cahaya lurus seperti garis yang hanya dapat dilihat oleh mereka yang
hadir malam itu. Daun-daun terangkat sesaat, dan tanah terasa ringan.
Burung tingang kembali bersuara.
Roh yang lama telah pulang.
Akhir dari Legenda, Awal dari Mimpi
Puluhan tahun kemudian, nama Sarung Lesan hanya dikenal dalam
bisikan. Tapi lukisan pamor dari Mandau pertama dan kedua disimpan dalam ukiran
tempawang kayu di kampung-kampung Kenyah dan Kayan. Bila ditanya siapa
yang melukisnya, tak ada yang tahu pasti.
Tapi setiap beberapa dekade, akan lahir satu anak yang bermimpi
tentang:
- Batu
abu-abu ringan seperti udara, tanpa bau, berpamor langit.
- Batu
berat berbau racun, berdetak seperti jantung ketika disentuh.
Anak-anak itu dipercaya sebagai penyambung roh Mandau, tapi tidak
pernah diperbolehkan membuatnya lagi. Sebab, kata tetua tua:
“Cukuplah dua roh dalam satu bumi. Bila dibuat ketiga, kita akan bicara
bukan lagi pada tanah, tapi pada langit yang murka.”
🧾 Catatan Penutup
Cerita dalam novel ini adalah
hasil dari imajinasi penulis yang dipadukan dengan kekayaan budaya dan mitos
dari masyarakat Dayak, khususnya seputar batu besi Sanaman Mantikei dan Mandau
pusaka.
Seluruh tokoh, peristiwa, serta tempat dalam
cerita ini bersifat fiktif.
Bila terdapat kesamaan nama, lokasi, atau kejadian dengan dunia nyata, itu
adalah kebetulan semata dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan atau
mewakili siapa pun atau kejadian tertentu secara historis.
Novel ini ditulis sebagai bentuk apresiasi terhadap kearifan lokal,
serta sebagai upaya menjaga semangat budaya lisan dan warisan mistis suku Dayak
agar tetap hidup dalam bentuk narasi sastra.
TAMAT
Post a Comment for "Mandau Bertuah dari Batu Sanaman Mantikei: Legenda Jejak Api Dayak"