Pendidikan Pancasila

Epistemologi Pendidikan Pancasila - INSISTS

HUBUNGAN ANTARA PANCASILA DAN PROKLAMASI

1) Hubungan antara proklamasi dan pancasila
Proklamasi merupakan puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Proklamasi merupakan keputusan bangsa Indonesia untuk menetapkan tatanan hukum nasional (Indonesia) dan menghapuskan tatanan hukum colonial, dalam artian membebaskan, menyelamatkan, mengembalikan, memfungsikan kembali nilai-nilai Pancasila yang disalahgunakan, dikuburkan, dimatikan (tidak digunakan) selama masa penjajahan. Perjuangan bangsa Indonesia ini kemudian di jiwai,disemangati,didasari,dipandu,dan didekati oleh nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Contohnya yaitu perjuangan rakyat Indonesia yang berkaitan sila pertama ketuhanan Yang Mahaesa yakni rakyat Indonesia mengucapkan kalimat Allah Akbar saat berperang melawan penjajah. Berkaitan dengan sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab yakni pada saat ada salah satu rakyat yang terluka saat peperangan , maka rakyat yang lain membopong/menggendong korban untuk diselamatkan. Contoh perjuangan yang berkaitan dengan sila ketiga persatuan Indonesia yakni tidak melihat perbedaan antar rakyat Indonesia. Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yakni selalu ada musyawarah antar rakyat Indonesia dalam melawan penjajah. Sila kelima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yakni rakyat Indonesia berbagi makan bersama , makan satu makan semua , rakyat Indonesia berbagi rasa , sakit bahagia dan rasa semangat saat perjuangan melawan penjajah.

2) Hubungan antara pancasila dan proklamasi
Nilai-nilai yang terkandung dalam Sila-sila Pancasila menyemangati, mendasari, melandasi,dan memandu para pahlawan ketika berperang melawan penjajah hingga mencapai kemerdekaan. Contohnya yaitu pada permulaan abad XX bangsa Indonesia mengubah cara atau strategi dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Kegagalan perlawanan secara fisik dan tidak adanya koordinasi perjuangan pada masa lalu, mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mengubah bentuk perlawanan. Bentuk perlawanan itu adalah dengan membangkitkan kesadaraan bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan mendirikan berbagai macam organisasi politik selain organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.

B. Hubungan Pancasila Dengan Pembukaan UUD 1945
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai pengertian mendalam dan terikat oleh suatu hukum terikat oleh suasana kebatinan formal hukum yang menguasai dasar Negara (Suhadi, 1998). Cita-cita hukum tersebut terangkum didalam empat pokok pikiran yang terkandung dalam Undang Undang Dasar 1945 yang sama hakikatnya dengan pancasila yaitu:
Negara Persatuan  “ Melindungi segenap bangsa Indonesia  dan seluruh tumpah darah Indonesia “
Keadilan sosial “Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia “
Kedaulaatan Rakyat “ Neara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan /perwakilan.”
Ketuhanan dan kemanusiaan “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap.”
Pembukaan UUD 1945 adalah sumber motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia yang merupakan sumber cita-cita luhur dan cita cita mahal, sehingga pembukaan UUD 19445 merupakan tertib jukum yang tertinggi dan memberikan kemutlakan agi tertib hukum Indonesia.
Pembukaan UUD 1945 bersama dengan UUD 1945 diundangkan dalam berita Republik Indonesia tahun 11 No 7, ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada hakekatnya semua aspek penyelenggaraan pemerintah Negara yang berdasarkan Pancasila terdapat dalam alenia IV pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian Pancasila secara yuridis formal ditetapkan sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia bersamaan dengan ditetapkan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. Maka Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 mempunyai hubungan yaitu secara formal dan material.

HUBUNGAN SECARA FORMAL
Dengan dicantumkannya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan UUD 1945, maka Pancasila memporelehi kedudukan sebagai norma dasar hukum positif. Dengan demikian tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas-asas social, ekonomi, politik, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religigius dan asas-asas kenegaraan yang unsurnya terdapat dalam Pancasila.
Jadi berdasarkan tempat terdapatnya Pancasila secarta formal dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.)    Bahwa rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alenia IV.
b.)    Bahwa Pembukaan UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah, merupakan pokok kaedah Negara yang Fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan yaitu :
Sebagai dasarnya, karena Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberi factor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.
Memasukkkan dirinya di dalam tertib hukum sebagai tertib hukum tertinggi.
c.)    Bahwa dengan demikian Pembukaan UUD 1945 berkedudukan dan berfungsi, selain sebgai Mukaddimah dan UUD 1945 dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, juga berkedudukan sebagai suatu yang bereksistensi sendiri, yang hakikat kedudukan hukumnya berbeda dengan pasal-Pasalnya. Karena Pembukaan UUD 1945 yang intinya adlah Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945, bahkan sebagai sumbernya.
d.)  Bahwa Pancasila dengan demikian dapat disimpulkan mempunyai hakikat,sifat,kedudukan dan fungsi sebagai pokokkaedah negara yang       
penerapan  Pancasila selama  periode  ini  adalah  Pancasila  diarahkan  sebagai  ideology  liberal  yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. walaupun  dasar  negara  tetap  Pancasila,  tetapi rumusan  sila  keempat  bukan  berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan  suara terbanyak  (voting). Dalam  bidang  politik, demokrasi berjalan  lebih baik dengan  terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling  demokratis

Periode  1956-1965

dikenal  sebagai  periode  demokrasi  terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai  Pancasila  tetapi  berada  pada  kekuasaan  pribadi  presiden  Soekarno. Terjadilah  berbagai penyimpangan  penafsiran  terhadap  Pancasila  dalam konstitusi.  Akibatnya  Soekarno  menjadi  otoriter,  diangkat  menjadi  presiden seumur  hidup,  politik  konfrontasi,  dan menggabungkan  Nasionalis,  Agama,  dan Komunis,  yang  ternyata  tidak  cocok  bagi NKRI.  Terbukti  adanya  kemerosotan moral  di  sebagian  masyarakat  yang  tidak  lagi  hidup  bersendikan  nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
 Dalam mengimplentasikan  Pancasila,  Bung  Karno melakukan  pemahaman Pancasila  dengan  paradigma  yang  disebut  USDEK.  Untuk  memberi  arah perjalanan  bangsa,  beliau  menekankan  pentingnya  memegang  teguh  UUD  45, sosialisme  ala  Indonesia,  demokrasi  terpimpin,  ekonomi  terpimpin  dan kepribadian  nasional.Hasilnya  terjadi  kudeta  PKI  dan  kondisi  ekonomi  yang memprihatinkan.

Penjabaran Pancasila Dalam Pasal-Pasal UUD 1945

1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1 “ negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang maha Esa.”
Ayat 2 “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 ayat 1, 28, 30 ayat 1, 31 ayat 2 yang berbunyi:
Pasal 27(1) “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28 “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 30(1) “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikutserta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Pasal 31(2) “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.

3) Persatuan Indonesia
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 1, 32 ayat 2, 35, 36A yang berbunyi:
Pasal 1 “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.
Pasal 32(2)  “negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pasal 35  “bendera negara Indonesia ialah sang merah putih.
Pasal 36(A) “lambang negara ialah garuda pancasila dan semboyannya adalah bhineka tunggal ika.

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 37 ayat 3 yang berbunyi:
Pasal 37(3) “untuk mengubah pasal UUD, sidang MPR dihadiri olehsekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.

5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 34 ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi:
Pasal 34(1) “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara sosialbagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pasal 34(2) “negara mengembangkan sistem jaminan

Pasal 34(3) “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.


IMPLEMENTASI PANCASILA
Implementasi Pancasila dalam Pembuatan Kebijakan Negara
Pembuatan kebijakan negara haruslah sesuai dengan Pancasila karena Pancasila merupakan dasar negara Indonesia.
Contoh Implementasi Pancasila terhadap kebijakan negara adalah :
Kebijakan mengenai dana BOS bagi sekolah, hal ini sesuai dengan sila ke-5, keadilan social bagi seluruh bangsa Indonesia, dan juga cita – cita bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa
BPJS juga merupakan salah satu bentuk implementasi sila ke-5 untuk mencapai kesejahteraan bangsa Indonesia
Kebijakan terhadap toleransi ketika hari raya umat beragama merupakan implementasi sila pertama dan sila ketiga
Peraturan tidak memandang siapapun merupakan bentuk implementasi dari sila kedua yakni kemanusiaan yang adil dan beadab
Pelaksanaan Pemilu merupakan implementasi dari sila keempat
Penyelenggaraan musyawarah dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau mengambil suatu keputusan juga merupakan implementasi dari sila keempat
Kebijakan pelarangan Illegal fishing, penggunaan trawl, peledakan kapal asing merupakan implementasi dari sila kelima untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan menjaga kelangsungan hidup dari biota laut.
Pancasila dan UUD 1945 Di antara ketiga cabang kekuasaan negara

Pancasila dan UUD 1945 berisi haluan-haluan bagi kebijakan-kebijakan pemerintahan negara (state policies) dalam garis besar dengan tingkat abstraksi perumusan nilai dan norma yang bersifat umum dan belum operasional. Terbentuknya nilai-nilai dan ide-ide yang terkandung di dalam haluan negara dalam rumusan Pancasila dan UUD 1945 dilakukan oleh dan melalui lembaga permusyawaratan rakyat, sedangkan upaya untuk mengawal dalam praktik, agar nilai-nilai dan ide-ide yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 sungguh-sungguh diwujudkan dalam praktik bernegara dilakukan oleh lembaga peradilan konstitusi. Dengan kata lain, fungsi ‘state policy making’ berupa Pancasila dan UUD 1945 itu dilakukan oleh lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan fungsi pengawalan atas pelaksanaannya dalam praktik dilakukan oleh lembaga peradilan (state policy adjudication) dalam rangka pengawasan melalui penegakan hukum (enforcement). Di antara kedua kutub fungsi ‘policy making’ dan ‘policy enforcing/controlling’ terdapat wilayah ‘policy executing’ yang merupakan wilayah tanggungjawab eksekutif kekuasaan pemerintahan negara. Dengan perkataan lain, agenda nasional yang berkaitan dengan Pancasila dan UUD 1945, harus lah diletakkan dalam tiga konteks fungsi kekuasaan (trias politika), yaitu (i) fungsi perumusan nilai dan pembentukannya menjadi sistem norma dalam kehidupan bernegara dilakukan oleh MPR sebagai lembaga perwakilan dan permusyawaratan; (ii) fungsi pelaksanaan, pengamalan, pemasyarakatan, dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan tanggungjawab cabang kekuasaan pemerintahan negara yang dipimpin oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan; dan (iii) fungsi pengawasan oleh lembaga peradilan, baik (a) karena terjadi pelanggaran dalam elaborasi normanya, atau pun (b) karena terjadi pelanggaran dalam penerapan norma atau kaedah hukumnya di dalam praktik.
MPR sebagai lembaga representasi rakyat tentu berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat untuk dimusyawarahkan dan diputuskan bersama untuk kepentingan rakyat. Apabila pimpinan MPR dianggap perlu diberi tugas untuk memasyarakatkan putusan-putusan MPR, maka tugas semacam ini tidak dapat dianggap identik dengan tugas dan fungsi pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 yang tidak lain merupakan wilayah kekuasaan eksekutif. Untuk menjalankan tugasnya sebagaimana ditentukan oleh UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Pimpinan MPR sama sekali tidak memerlukan Instruksi Presiden. UU MD3 itu sudah dengan sendirinya harus dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh para Pimpinan MPR dan Pimpinan lembaga-lembaga lain, yaitu DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan ketentuan UU MD3 tersebut.
Namun, perlu dipahami bahwa tugas pemasyarakatan putusan sesuatu lembaga semacam itu adalah dalam rangka pelaksanaan prinsip keterbukaan atau transparansi dan akuntabilitas, bukan dalam rangka tugas-tugas pemerintahan yang bersifat teknis ‘executive’. Oleh karena itu, adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2005 yang dikeluarkan atas permintaan pimpinan MPR yang berisi perintah Presiden kepada seluruh jajaran pejabat pemerintahan dari pusat sampai ke daerah untuk mendukung dan membantu pelaksanaan pemasyarakatan UUD 1945 sebagai putusan MPR, merupakan salah kaprah yang bertentangan dengan prinsip pembagian dan pemisahan kekuasaan negara. Fungsi pendidikan dan pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945 sebagai fungsi pemerintahan eksekutif tidak boleh dicampur-adukkan dengan fungsi legislatif perumusan nilai-nilai Pancasila dan pembentukan norma atau kaedah konstitusional dalam UUD 1945. Inpres No. 6 Tahun 2005 itu memberikan instruksi kepada para Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintahan Non-Departemen (sekarang Non-Kementerian), para Gubernur, para Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia untuk membantu dan member dukungan kepada MPR dalam melakukan kegiatan sosialisasi UUD 1945. Secara konkrit, Inpres tersebut berisi instruksi agar semua pejabat pemerintahan baik pusat maupun daerah tersebut, “Memberikan dukungan dan bantuan bagi kelancaran terlaksananya sosialisasi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR-RI, sesuai lingkup tugas dan kewenangan masing-masing”. Dengan Inpres itu, alih-alih bertindak dengan segala tanggungjawabnya untuk melakukan sosialisasi dan memberikan instruksi agar seluruh jajaran pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah melaksanakan sendiri kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden selaku kepala pemerintahan malah hanya memberikan instruksi untuk mendukung dan membantu lembaga MPR yang berada dalam ranah kekuasaan legislatif menjalankan tugas eksekutif memasyarakatkan UUD 1945. Seharusnya, tugas dan tanggungjawab melakukan fungsi sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dipahami sebagai urusan cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, bukan merupakan tugas dan tanggungjawab Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Demikian pula lembaga peradilan sebagai institusi, sebaiknya tidak terlibat, dilibatkan, ataupun melibatkan diri dalam beraneka kegiatan pendidikan dan pemasyarakatan Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini, ada dua aspek peradilan yang dapat terjadi dalam kaitannya dengan nila-nilai Pancasila dan norma atau kaedah-kaedah UUD 1945. Apabila pelanggaran hukum terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan (i) pembuatan kebijakan atau pembentukan peraturan perundang-undangan (policy making), maka proses peradilannya dinamakan pengujian norma hukum (judicial review) yang dapat dibedakan lagi antara pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atau pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Apabila yang dianggap melanggar adalah normanya, yaitu bertentangan dengan materi norma yang lebih tinggi, maka namanya disebut sebagai pengujian materiel (matereele toetsing), sedangkan apabila yang dianggap melanggar adalah proses pembentukan normanya, maka pengujian demikian disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing).
Jika pelanggaran yang dimaksud bukan terjadi dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan atau pembuatan kebijakan (policy making), tetapi justru dalam pelaksanaan kebijakan atau penerapan peraturan/kebijakan itu dalam praktik (policy executing), proses peradilannya bukan melalui upaya ‘judicial review’ di MK atau MA, tetapi melalui peradilan biasa. Proses peradilan biasa itu dapat dilakukan secara bertingkat mulai dari peradilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata-usaha negara, atau pun peradilan militer. Dalam menangani setiap perkara, semua hakim, di setiap tingkatan dan di semua lingkungan peradilan, sudah seharusnya memahami nilai-nilai Pancasila dan norma atau kaedah-kaedah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber referensi atau rujukan hukum yang tertinggi dan yang terdalam, sehingga putusan yang ditetapkannya benar-benar menjadi solusi keadilan dalam arti yang sebenarnya.
Karena itu, lembaga peradilan juga tidak dapat diharapkan memainkan peran pemasyarakatan atau sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Lembaga peradilan mempunyai tanggungjawabnya sendiri untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan kaedah-kaedah UUD 1945 itu dalam praktik peradilan sesuai dengan sifat dan hakikat tugasnya sebagai lembaga peradilan yang harus bersifat pasif dan non-politis. Watak lembaga peradilan adalah bersifat pasif, tidak boleh aktif. Kode etika hakim di seluruh dunia bahkan melarang para hakim secara aktif menyuruh dan menganjurkan orang untuk mengajukan perkara kepadanya. Hakim dan lembaga peradilan harus bersikap pasif, menunggu dan tergantung kepada perkara yang diajukan kepadanya. Namun demikian, sebaliknya, apapun perkara yang diajukan kepadanya oleh para pencari keadilan (justice seeker) harus diperiksa dengan sebaik-baiknya. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa sesuatu perkara karena alasan bahwa undang-undangnya tidak ada atau peraturannya belum lengkap. Adalah tugas hakim untuk menemukan hukum dan keadilan dalam praktik penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepadanya.

PENULIS
Gery Purnomo A.S      
Ryan Dharmawan        
M.Noorhadiansyah      
Dyah                   
Kiki N.Azzam               
FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015

EDITOR
Gery Purnomo Aji Sutrisno
FPIK Universitas Brawijaya Angkatan 2015

DAFTAR PUSTAKA
http://devinurvitasari18.co.id/2013/07/penjabaran-pancasila-kedalam-uud
http://riaviinola.co.id/2014/09/hubungan-antara-pembukaan-uud-1945_79

Post a Comment for "Pendidikan Pancasila"