Legenda Mandau Pusaka: Kisah Penjaga Roh Leluhur dari Hutan Kalimantan

 



BAB 1: Warisan dari Kabut

Kabut turun lebih awal malam itu.

Di tepi sungai kecil yang membelah kampung, burung Enggang tidak bernyanyi seperti biasanya. Pepohonan tua berdiri diam, seperti enggan bernapas. Dari rumah panggung paling ujung, suara lonceng bambu menggantung terdengar pelan—dibawa angin yang terasa seperti bisikan roh.

Di dalam rumah itu, Puyang Lumbang duduk di atas tikar rotan, tubuhnya dibalut kain tenun yang telah pudar warnanya. Wajahnya keriput, matanya tajam meski umur telah melampaui enam puluh purnama. Di sampingnya tergolek sebilah Mandau tua, dibungkus kain merah dan hitam, dengan untaian rambut manusia yang sudah memutih tergantung di gagangnya.

"Roh sudah memanggilku," gumamnya pelan.

Dari pintu, seorang pemuda melangkah masuk. Tubuhnya tegap, tapi gerakannya lembut. Di pinggangnya tergantung kantong ukiran, dan di tangannya membawa pahatan kayu setengah jadi: bentuk burung Enggang.

Datuk… sudah waktunya minum jamu.

Puyang Lumbang menoleh. Senyum kecil terbit di wajah tuanya.

Jaya, tahu kau mengapa Enggang tak bersuara malam ini?

Jaya terdiam. Ia tahu, saat datuknya bicara dalam teka-teki, itu bukan sekadar kata.

Karena hutan menahan napas, cucuku. Roh leluhur sedang berjalan.

Puyang Lumbang lalu mengangkat Mandau pusaka itu, mengusapnya pelan. Untaian rambut di gagangnya melambai ringan meski tak ada angin. Ia menatap Jaya lama, seolah hendak mengukir wajah cucunya dalam ingatan terakhir.

“Besok saat bulan naik, engkau ikut aku ke hulu. Kita harus bertemu panyang hatala—penjaga adat di tebing karang. Setelah itu, Mandau ini bukan milikku lagi.”

Jaya menegang. “Aku? Tapi… aku tak bisa bertarung.”

Puyang tertawa pelan. “Mandau bukan senjata. Ia roh yang terikat besi. Yang ia butuhkan bukan tangan yang kuat, tapi hati yang jernih.”

Jaya tak menjawab. Tapi jauh di lubuk hatinya, sesuatu bergetar. Sejak kecil ia pernah bermimpi berdiri di tengah hutan sambil memegang bilah besi berkilau, dikelilingi bayangan tanpa wajah.

Malam itu, Jaya tak bisa tidur.

Dari celah dinding kayu, ia menatap bulan yang belum sempurna. Hatinya gelisah. Namun di balik kegelisahan itu, suara lirih datang dalam mimpi:

“Kau tak mencari takdirmu, Jaya. Tapi takdirmu telah lama mencarimu.”



BAB 2: Mandau Bertuah

Mentari pagi belum sepenuhnya muncul ketika Jaya mengikuti jejak langkah datuknya. Mereka menelusuri jalur sempit menuju hulu sungai, menyusuri akar-akar pohon yang menggantung dan tanah lembab yang memeluk kaki. Di belakang punggung Puyang Lumbang, Mandau pusaka terikat dalam kain merah, seperti ular tidur yang menanti waktu bangun.

Jaya berjalan diam, hanya suara dedaunan basah dan desiran air yang mengiringi langkah mereka.

“Pernah kau dengar, Jaya,” kata Puyang tanpa menoleh, “bahwa Mandau ini dibuat bukan dengan tangan biasa?”

“Dibuat oleh pandai besi Dayak?”

“Ya, tapi bukan sembarang. Dulu, dalam perang suku, Mandau ini dibuat oleh Tukang Besi Satu Mata. Dia menyalakan api dengan mantera, dan mencampur logam dengan darah terakhir dari kepala musuh. Bilahnya dibentuk di malam bulan mati, dan diberi nama oleh roh hutan sendiri.”

Jaya menelan ludah.

“Itu… artinya Mandau ini hidup?”

Puyang berhenti. Ia berbalik perlahan, matanya menatap Jaya lurus.

“Mandau ini tak hanya hidup. Ia mendengar. Ia menguji. Jika hati pemegangnya gelap, ia akan jadi iblis. Tapi bila hatinya terang, maka ia akan jadi penjaga.”

Mereka tiba di sebuah batu besar yang menjulang dari tanah seperti altar. Di atasnya, tumpukan sesajen dari bunga hutan, damar, dan kulit kayu sudah tertata rapi. Dari balik kabut tipis, seorang lelaki tua dengan kepala gundul dan tubuh penuh rajah muncul: Panyang Hatala.

Ia tak berkata apa pun, hanya mengangkat tangan memberi isyarat. Puyang Lumbang mendekat, dan menyerahkan Mandau ke hadapannya. Jaya berdiri agak jauh, tak tahu harus berbuat apa.

Panyang Hatala mengambil Mandau itu, membuka kain pembungkusnya. Cahaya samar memantul dari bilah besi yang gelap, dihiasi titik-titik emas kecil seperti bintang di langit malam.

Panyang bicara dalam bahasa tua, lidah Dayak dalam irama nyanyian. Udara di sekeliling terasa berat, Jaya merasa kepalanya berdengung, seperti ada suara lain masuk ke telinganya. Bisikan.

“Cucu Lumbang… kau mendengarku?”

Jaya menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya Puyang dan Panyang.

“Ini suara siapa?”

“Aku… roh yang bersemayam. Aku yang akan berjalan bersamamu.”

Tiba-tiba, angin berembus kencang, membentuk pusaran kecil di atas batu. Daun-daun beterbangan, dan langit mendadak gelap. Panyang Hatala menusukkan ujung bilah Mandau ke tanah, dan mendekatkan tangan Jaya ke gagang senjata itu.

“Terimalah,” kata Puyang, “jangan dengan kekuatan, tapi dengan keyakinan.”

Saat Jaya menyentuhnya, dunia seolah berhenti. Suara hutan lenyap. Yang ia rasakan hanya panas menyala dari bilah logam, dan gelombang gambaran — wajah-wajah asing, peperangan, air sungai merah darah, dan sepasang mata tua yang menangis.

Ia terjatuh. Tapi tangannya masih menggenggam Mandau itu.

Ketika ia membuka mata, angin berhenti. Kabut menghilang. Dan langit kembali terang.

Puyang menatapnya lama. “Kau sudah dipilih.”

Tapi di hati Jaya, tak hanya ada kekaguman. Ada juga rasa takut.

Karena bisikan yang ia dengar terakhir berbunyi:

“Kau mungkin memegangku, tapi belum tentu kau yang memimpinku.”




BAB 3: Bayangan di Rimba

Sejak Mandau itu berpindah tangan, hutan tak pernah benar-benar tenang.

Di malam-malam tertentu, anjing kampung melolong ke arah pohon besar, dan burung hantu menolak bersuara. Ibu-ibu tak lagi menjemur pakaian hingga sore, dan anak-anak dilarang bermain ke tepi sungai.

Orang-orang bilang, hutan sedang mengintip.

Jaya menyadarinya pertama kali ketika ia sedang memahat di belakang rumah. Tangan kanannya kini selalu merasa kesemutan, seolah Mandau yang disimpannya di dalam peti bambu terus berdenyut—seperti jantung.

Suatu malam, ia terbangun karena mendengar suara langkah… di atap rumah panggung.

Ketika ia membuka jendela, tak ada siapa pun. Tapi di tanah basah di bawah, ada jejak kaki yang aneh. Panjang, runcing, dan tampak seperti cakar — bukan manusia, bukan juga hewan.

Keesokan paginya, Mak Laung, perempuan tua penjaga ladang, datang dengan wajah pucat. Ia bersumpah melihat "bayangan besar di ujung sawah, tinggi seperti pohon pinang, dan bermata merah."

“Itu bukan orang. Itu bukan binatang. Itu… roh pembawa pengusiran.”

Di balai adat, para tetua berkumpul. Pembicaraan berlangsung dalam bahasa tua yang hanya dimengerti generasi lama. Tapi Jaya menangkap satu nama yang terus diulang:

"Singa Taluh" — roh penunggu hutan yang terusir saat jalan logging dibuka lima tahun lalu. Dulu ia tak menggangu, karena Mandau kepala adat disimpan dan disegani. Tapi kini, setelah pusaka itu aktif kembali… ia datang menagih janji.

Kita harus mengadakan upacara damai!” ujar seorang tetua.

Tapi Balian tertua, Pak Giring, menggeleng lambat.

“Roh itu tidak minta damai. Ia menunggu darah.”

Malamnya, Jaya memandangi Mandau di dalam peti. Ia belum pernah menggunakannya. Tapi ia tahu, malam itu, sesuatu akan memanggilnya.

Benar saja. Saat langit menurunkan hujan ringan dan kabut melayang rendah, teriakan terdengar dari arah hutan! Anak dari keluarga Nayan hilang saat mencari kayu bakar.

Warga panik. Obor dinyalakan, pencarian dimulai.

Jaya, untuk pertama kalinya, mengikat Mandau di pinggangnya.

Ia masuk ke hutan dengan langkah ragu, tapi hatinya telah memilih.

Di antara pohon-pohon tinggi dan tanah becek, ia melihat sesuatu: kabut yang bergerak sendiri. Dan di baliknya… sesosok bayangan besar, kurus, dan tinggi. Mata merahnya bersinar, dan dari punggungnya menjuntai rambut-rambut panjang seperti akar pohon mati.

Makhluk itu berbalik menatap Jaya.

Jaya hendak mundur. Tapi saat ia menyentuh gagang Mandau, suara lirih masuk ke pikirannya:

“Tenangkan hatimu. Aku bersamamu. Tapi jangan coba perintah aku — tuntun aku dengan niat bersih.”

Jaya menghunus Mandau. Bilahan itu tak bersinar, tapi bernafas. Udara di sekitarnya menjadi panas, dan angin berhenti total.

Makhluk itu mengeluarkan suara rendah—bukan geraman, tapi semacam tangisan marah.

Dan sebelum Jaya bisa bicara, makhluk itu lenyap. Hanya tersisa daun-daun yang layu dan jejak kaki yang melelehkan tanah.

Anak Nayan ditemukan pagi harinya — tak terluka, hanya tertidur di dalam akar pohon besar, seperti dijaga.

Tapi para tetua tahu: ini bukan akhir.

Ini baru salam pembuka.


 


BAB 4: Serangan Asing

Kabut belum surut dari puncak-puncak pohon ketika suara asing mulai terdengar di kaki hutan: dentuman mesin berat, derak pohon tumbang, dan gemuruh roda baja. Jalan tanah yang dulu hanya dilalui pemburu kini berubah menjadi jalur kendaraan bertulisan "KONSORSIUM SERAYA TROPIS"—sebuah perusahaan logging yang sudah lama mengincar tanah adat.

Warga resah.

Mereka tak pernah berani masuk sedekat ini,” kata Pak Giring dengan suara rendah. “Dulu mereka takut adat… sekarang mereka tahu Puyang hampir tiada.”

Puyang Lumbang memang sudah tak keluar rumah sejak dua hari lalu. Suaranya melemah. Tubuhnya dingin. Tapi mata tuanya masih tajam saat Jaya masuk membawakan air rebusan daun akar.

“Cucu,” katanya lirih. “Hutan tak hanya dijaga roh. Tapi juga dijaga keberanian manusia. Jika manusia tunduk, maka roh pun akan menjauh.”

Jaya hanya diam. Di pinggangnya, Mandau terasa berat, seperti tahu bahwa waktunya hampir tiba.


Keesokan harinya, truk-truk perusahaan masuk ke ladang rotan.

Empat lelaki bersenjata berdiri di sisi alat berat. Mereka menyuruh warga menjauh, membawa surat berstempel yang mereka sebut “izin negara.”

Ini tanah milik negara! Kami hanya menjalankan proyek pembangunan!” seru salah satu dari mereka, seorang mandor muda dengan seragam setengah rapi.

Tapi ladang itu adalah tempat pemakaman tua.

Tepat di tengahnya, ada tunggul besar yang dipercaya sebagai tempat roh Puyang Pakai bersemayam—leluhur yang membuka kampung ratusan tahun lalu.

Saat alat berat mendekat tunggul itu, angin berhenti. Burung lenyap. Langit mendung tanpa awan.

Jaya berdiri di sisi warga, bersama Pak Giring dan dua orang tetua lain. Ia belum menghunus Mandau. Ia tahu, adat tak membenarkan kekerasan. Tapi sesuatu dalam dirinya meronta.

“Tunggu…” bisik suara di dalam dirinya, suara yang berasal dari bilah di pinggang.
“Belum waktunya. Tapi bila akar dilukai, maka darah harus dibayar.”

Alat berat menyentuh tunggul.

Dan saat itu juga, bumi seperti bergetar.

Salah satu rantai roda alat berat patah dengan suara keras. Operatornya terlempar, dan tanah di sekitar tunggul retak. Asap putih keluar dari celah tanah, mengambang seperti roh.

Para pekerja panik. Sebagian mundur, sebagian marah. Mandor itu menuduh warga menggunakan sihir.

“Kalau kalian tak mau keluar dari tanah ini, kami akan kembali besok. Dengan izin dari atas! Dan kalau perlu, kami datang pakai senjata!” katanya sambil menunjuk Jaya.

Jaya menatapnya tenang. Tapi di dalam hatinya, ia tahu hari itu akan datang.


Malamnya, Jaya duduk di depan rumah adat, memandang langit.

Dari arah hutan, bayangan Singa Taluh muncul lagi. Tapi ia tak mendekat. Ia hanya berdiri di tepi gelap, mata merahnya menyala. Seolah menunggu isyarat.

“Aku tak bisa memilih antara manusia dan roh,” kata Jaya dalam hati.

“Tapi jika tanah ini dilukai, maka semua akan bangkit…”

Di baliknya, Mandau bergetar pelan.

Dan jauh di dalam bilahnya, roh leluhur mulai membuka mata.


 


BAB 5: Rahasia Mandau

Tiga malam setelah insiden di ladang, Jaya kembali bermimpi. Tapi mimpi itu berbeda.

Bukan bayangan, bukan kabut, bukan suara. Ia justru berdiri di sebuah kampung tua yang hancur. Rumah panggung telah menjadi arang. Tanah retak seperti dilanda gempa. Di tengah kampung itu berdiri seseorang berpakaian kepala suku zaman dahulu, mengenakan bulu Enggang dan rompi kulit kayu.

Pria itu berdarah dari dada, namun tetap berdiri.

Di tangannya—Mandau yang sama seperti milik Jaya sekarang.

“Namaku Uru Tandang, kepala suku terakhir dari tanah ini.”

“Aku mati dalam perjanjian yang dikhianati. Darahku mengalir ke bilah Mandau ini, bersama roh orang-orang yang kubela. Karena itu, aku tetap terjaga. Tapi tidak selamanya.”

Jaya hendak bicara, tapi tak bisa. Suaranya tercekat.

“Bilah ini bukan hanya pusaka. Ia adalah perjanjian. Dan jika perjanjian itu dilanggar lagi… maka kutukan akan bangkit. Kau, cucu dari garis yang tak pernah bersumpah setia pada penguasa, dipilih bukan karena darahmu kuat, tapi karena hatimu belum ternoda.”

Jaya tersentak bangun. Keringat membasahi punggungnya. Di luar, suara hutan hening. Terlalu hening.

Ia bangkit, membuka peti bambu tempat Mandau disimpan.

Bilah itu kini memunculkan pamor yang belum pernah ia lihat: seperti sungai mengalir, berkilau samar seperti bintang-bintang mati.


Keesokan paginya, ia mendatangi Pak Giring dan para tetua, dan menceritakan semua.

Pak Giring hanya mengangguk pelan.

“Uru Tandang… ya. Ia kepala adat yang dibantai saat menolak memberi tanah ke serdadu kolonial. Mayatnya tak pernah ditemukan. Tapi dulu, Mandau itu menghilang—sampai suatu hari Puyang Lumbang menemukannya terkubur dalam batang kayu tua yang tumbang karena petir.”

Seorang tetua perempuan menambahkan, “Itulah sebabnya Mandau itu tak bisa diasah oleh tukang besi biasa. Dan mengapa ia selalu ‘bernapas’ jika disimpan di tempat gelap.”

Jaya kini mengerti: Mandau itu adalah perjanjian. Bukan hanya senjata, tapi penampung roh.

Dan jika perusahaan atau siapa pun melanggar batas tanah adat lagi, roh yang tertahan akan meluap.


Di malam kelima, Puyang Lumbang meninggal dunia. Tenang, tanpa suara. Tapi saat tubuhnya disemayamkan di rumah panjang, lampu minyak padam sendiri, dan di langit, burung Enggang terbang melingkar tiga kali, sebuah pertanda yang jarang sekali terjadi.

Warga tahu: penjaga lama telah pergi.

Dan kini, penjaga baru harus siap.

Di pemakaman adat, saat tanah merah menutup tubuh Puyang, Jaya berdiri di depan tunggul tua, menghunus Mandau untuk pertama kalinya dalam upacara resmi.

Suara burung-burung diam. Tapi di dalam bilah, bisikan leluhur terdengar jelas:

“Perjanjian lama telah bangkit. Lindungi tanah ini, atau kami akan melakukannya dengan cara kami sendiri.”




BAB 6: Kutukan Bangkit

Tiga hari setelah pemakaman Puyang Lumbang, truk-truk perusahaan datang kembali. Tapi kali ini, mereka tidak hanya membawa alat berat. Mereka datang bersama anggota aparat bersenjata lengkap, mengenakan seragam hijau tua, dan membawa selembar surat izin eksplorasi yang dibacakan keras-keras di depan warga.

“Atas nama pembangunan nasional, tanah ini akan dibuka sebagai kawasan industri perkayuan modern!”

Suasana memanas.

Beberapa warga muda hendak maju, tapi ditahan oleh tetua. Mereka tahu, melawan secara fisik hanya akan berujung darah. Tapi saat itu juga, Jaya melangkah ke depan.

Di pinggangnya, Mandau pusaka tergantung seperti ular tidur.

“Tanah ini bukan milik negara. Tanah ini milik leluhur. Dan leluhur kami belum mengizinkan pohon terakhir ditebang.”

Aparat tertawa. Seorang komandan mendekat, menatap Jaya dari ujung sepatu sampai ke mata.

“Kau pikir bisa hentikan ini dengan pisau antik di pinggangmu?”

Jaya hanya tersenyum.

“Ini bukan pisau. Ini kebenaran yang menyimpan luka ratusan tahun.”

Lalu tanah di bawah mereka bergejolak. Akar-akar pohon muncul dari dalam tanah, menggeliat seperti ular besar. Udara menjadi pekat. Burung-burung lari dari sarang. Truk-truk tiba-tiba mogok, mesinnya tak mau menyala.

Dan di ujung kampung, sesosok tinggi besar perlahan muncul dari kabut pagi—bayangan yang telah menghantui mimpi Jaya: Singa Taluh.


Makhluk itu setinggi pohon, tubuhnya kurus seperti tengkorak, ditumbuhi lumut dan akar. Matanya merah darah, dan dari mulutnya keluar suara yang bukan suara...

“Perjanjian dilanggar. Penebus belum membayar. Darah belum ditumpahkan.”

Warga lari berhamburan, aparat membidikkan senjata, tapi pelurunya melewati tubuh makhluk itu seperti angin.

Salah satu truk mengeluarkan api dari mesinnya dan meledak—tanpa sebab jelas.

Jaya berdiri tenang. Di tangannya, Mandau mulai bergetar.

“Kau harus pilih,” suara leluhur terdengar dalam kepalanya, “rohnya akan bangkit dan membantai tanpa pandang bulu… kecuali kau hentikan dengan darah pengganti.”

“Siapa yang harus jadi pengganti?” tanya Jaya.

“Kau.”


Jaya menghunus Mandau, dan memotong ujung jarinya. Darahnya menetes ke tanah. Ia bicara, bukan dengan suara keras, tapi dengan hati.

“Aku, Jaya anak garis Lumbang, memohon: kembalilah ke tempat tidurmu. Kutebus perjanjian ini. Jangan jatuhkan kemarahanmu pada mereka yang tak tahu adat.”

Singa Taluh mengangkat wajahnya. Ia mencium udara, seolah menilai darah itu.

Lalu, untuk pertama kalinya, makhluk itu berlutut.

Dari tubuhnya keluar ribuan nyala kecil, seperti kunang-kunang, melayang naik ke langit dan hilang satu per satu. Kabut surut. Akar kembali ke tanah.

Makhluk itu lenyap.

Aparat yang menyaksikan semuanya tak berkata apa-apa. Mereka pergi diam-diam keesokan harinya, meninggalkan truk, alat berat, dan rencana perusahaan di belakang.


Hari itu, kampung menyadari: perjanjian lama telah ditebus, tapi dengan syarat.

Jaya tak bisa tinggalkan Mandau lagi.

Ia kini penjaga tanah, penyeimbang antara dunia roh dan manusia.
Dan Mandau itu… tak boleh diwariskan sembarangan. Ia harus memilih, seperti memilih Jaya.




BAB 7: Bayang-Bayang Baru

Tiga bulan telah berlalu sejak hari di mana Singa Taluh dibungkam oleh darah Jaya. Kampung kembali tenang. Ladang kembali hijau. Anak-anak berani bermain di tepi hutan. Bahkan burung Enggang kembali terbang melintasi langit tiap pagi—pertanda alam mulai pulih.

Tapi damai, seperti daun muda, mudah robek oleh angin yang tak terlihat.

Malam-malam terakhir, Jaya sering merasa Mandau-nya memanas sendiri. Bukan karena roh marah, tapi seolah ia waspada. Ada sesuatu… bergerak dari arah bawah tanah.


Lalu datanglah si pembawa kabar: seorang lelaki tua dari desa tetangga.

Namanya Kalenggan, seorang mantir tua yang dulu pernah diasingkan karena mengamalkan ilmu hitam tua yang dilarang adat.

Ia datang dengan sopan, membawa sirih dan kain tua.

Tapi wajahnya—walau tersenyum—mata kirinya hitam legam seperti lubang tanpa dasar.

“Aku datang bukan untuk berperang, Jaya,” katanya pelan, “tapi untuk mengingatkan… tidak semua roh bisa ditidurkan dengan darah sendiri.”

Jaya mengajaknya duduk, tapi Mandau di pinggang bergetar pelan—tak suka.

Kalenggan melanjutkan:

“Kau bangunkan Singa Taluh dan mengurungnya dengan darah. Tapi tahu kau, roh apa yang ikut bangkit bersamanya?”

Jaya diam.

“Ada roh lama, lebih tua dari Uru Tandang. Roh pengkhianat pertama—yang menyatu dengan batu Sanaman Mantikei dan disegel oleh leluhurmu sendiri. Roh itu ikut terbebas saat tanah retak… Dan kini, ia sedang mencari wadah.”

“Wadah?” tanya Jaya.

Kalenggan tersenyum—tapi bukan senyum ramah.

“Ya. Dan wadah itu bisa manusia. Bisa pohon tua. Bisa… bilah pusaka.


Malam itu juga, Jaya bermimpi. Tapi bukan mimpi dari roh leluhur. Ini dingin. Hening. Gelap.

Ia berjalan menyusuri lorong batu, penuh ukiran kuno yang tak ia mengerti. Di ujung lorong, ada batu besar dengan lubang di tengahnya, dan di dalam lubang itu—matanya sendiri.

Mata itu melihat Jaya dari dalam.
Mata itu ingin keluar.
Mata itu ingin hidup.
Itu bukan miliknya. Itu bukan manusia.

Jaya terbangun dengan keringat dingin. Mandau tergeletak di lantai—padahal ia yakin menyimpannya di peti.

Dan pada bilah Mandau itu, tampak samar ukiran baru: mata satu, menatap balik padanya.


Di balai adat, para tetua berkumpul. Pak Giring tampak gelisah.

“Ilmu Kalenggan memang sudah lama dilarang. Ia pernah mencoba menyatukan roh jahat dengan batu pusaka. Kini, jika ia mencoba mengendalikan roh dari bawah tanah… maka seluruh tanah bisa runtuh.”

Jaya tahu apa yang harus dilakukan: menghadapinya. Tapi bukan sebagai musuh, melainkan sebagai pewaris sah Mandau yang tidak bisa dibohongi oleh roh busuk.

Ia bersiap malam itu. Memasukkan akar pahit, rajah pelindung, dan seutas rambut dari Puyang Lumbang yang disimpan untuk keperluan besar.

Lalu ia pergi. Menuju tempat Kalenggan tinggal—di bawah batu keramat, jauh dari matahari.

Dan dalam gelap itu, ia tahu:
perang berikutnya bukan dengan senjata, tapi dengan jiwa.


 


BAB 8: Perang Dalam Jiwa

Langit masih gelap saat Jaya tiba di Bukit Batu Maut, tempat Kalenggan tinggal. Udara terasa berat. Pepohonan di sekitar tampak menghitam, seperti membusuk meski masih berdiri. Tidak ada suara burung, tidak ada jangkrik. Hanya desah napas bumi yang seperti tertahan.

Jaya berdiri di depan gua batu, pintu masuknya berupa celah sempit di antara dua bongkahan batu hitam. Di situ, aroma belerang dan darah mengambang tipis di udara.

“Masuklah, pewaris yang membawa cahaya. Tapi ingat, tak semua yang kau temui di dalam berasal dari luar dirimu.”

Suara Kalenggan menggema dari dalam, berat dan tua… tapi juga ganda—seolah dua roh berbicara dalam satu tubuh.


Jaya melangkah masuk.

Ia membawa Mandau, tapi tak menghunusnya. Ia tahu, Mandau pusaka ini hanya bisa dipakai jika hati tak diliputi marah, dendam, atau takut. Bila tidak, roh dalam bilah bisa menolak… bahkan bisa balik melukai tuannya.

Di dalam gua, ia melihat Kalenggan duduk bersila di atas batu datar, di depannya api hitam menyala dari lilin tanah liat tua, membentuk lingkaran dari rambut, darah, dan tulang kecil.

“Aku tidak butuh tubuhmu, Jaya,” kata Kalenggan.
“Aku hanya butuh bilahmu. Biarkan roh yang lebih kuat hidup kembali. Bersatu denganku, dan kita akan menjadi penguasa tanah dan langit!”

Tapi Jaya menjawab tenang:

“Tanah tak butuh penguasa. Tanah hanya butuh penjaga.”

Mendengar itu, Kalenggan berteriak. Api hitam menyembur ke dinding gua. Dari lingkaran tulang itu, keluar sosok tinggi, gelap, dan menyeringai—roh tua bertanduk yang sudah lama disegel oleh leluhur Jaya.

“Namaku Patagap Murik. Aku roh pelindung yang dibuang karena menolak tunduk. Kini aku bebas. Dan Mandau itu akan menjadi wadahku!”


Roh itu melesat ke arah Jaya.

Jaya berdiri tenang. Ia tidak menangkis. Ia hanya menutup mata… dan berbisik:

“Aku bukan pewaris karena dipilih. Aku pewaris karena bertanggung jawab.”

Mandau di pinggangnya berkilat terang, bukan karena cahaya, tapi karena tekad. Bilah itu melayang sendiri ke tangan Jaya, dan saat roh jahat menyentuhnya—bilah menyerap roh itu, menjeritkan suara mengerikan, lalu diam.

Kalenggan berteriak.

“Tidak! Itu bukan milikmu! Itu milik para roh lama!”

Jaya menjawab:

“Mandau ini bukan milik siapa-siapa. Tapi ia memilih. Dan ia tak memilih yang serakah.”

Mandau itu kini menyala lembut. Tapi pada bilahnya, satu mata tetap tertinggal—sebuah tanda bahwa roh Patagap Murik belum sepenuhnya hilang.

Jaya tahu: perang belum selesai. Tapi untuk malam itu, tanah kembali tenang.


Kembali ke kampung, Jaya tidak menyombongkan apa yang terjadi.

Ia hanya menggantung Mandau di atas altar rumah panjang.
Ia tidur seperti biasa. Tapi di dalam tidurnya, Puyang Lumbang datang lagi.

“Kau menang bukan karena kuat. Tapi karena tidak ingin menang.”
“Ingat, Jaya… penjaga tanah bukan hanya melawan roh luar.
Ia juga harus menang dari dalam dirinya sendiri.”




BAB 9: Warisan dan Darah Baru

Waktu berjalan. Musim panen datang silih berganti. Kabut tidak lagi pekat di pagi hari. Hutan kembali terdengar suara burung, dan sungai mengalir jernih seperti luka yang mulai sembuh.

Jaya kini bukan sekadar penjaga Mandau. Ia menjadi guru adat bagi generasi muda. Anak-anak kampung yang dulu takut pada bilah pusaka, kini duduk melingkar di bale-bale, mendengar cerita tentang leluhur, roh penjaga, dan perjanjian-perjanjian lama yang tak boleh dilanggar.

Salah satu muridnya yang paling cerdas adalah seorang remaja bernama Gilang—cucu dari Pak Giring.

Gilang berbeda. Ia lahir di zaman gawai dan internet. Tapi hatinya tetap terpaut pada tanah.

“Bisa nggak Mandau itu diteliti di laboratorium, Om Jaya?”
“Atau difoto lalu dijadikan museum digital?”

Jaya hanya tersenyum.

“Kau bisa meneliti besinya. Tapi bukan itu yang membuatnya hidup.”
“Mandau ini hidup karena janji, bukan logam.”


Namun gelombang modernisasi tak bisa dibendung sepenuhnya.

Beberapa anak muda mulai meninggalkan kampung, tergiur kerja di kota. Lahan-lahan dijual, dan sinyal internet mengalir lebih cepat daripada sungai di kaki bukit.

Suatu malam, datanglah utusan dari perusahaan teknologi besar. Mereka membawa rencana besar: menjadikan wilayah adat sebagai destinasi digital budaya, lengkap dengan resor, museum hologram, dan rekonstruksi 3D rumah panjang.

“Kami akan bantu kampung ini dikenal dunia,” kata mereka.
“Tapi kami perlu hak untuk mengakses dan mendigitalisasi seluruh artefak adat… termasuk Mandau itu.”

Rapat adat digelar. Sebagian warga tergiur. Tapi Jaya diam.

Gilang membelanya.

“Mandau bukan artefak. Ia bukan objek. Ia roh.”
“Kalau kau bawa Mandau ke dunia digital, apa yang terjadi dengan roh di dalamnya?”

Orang-orang kota tak mengerti. Mereka pikir itu hanya simbol.


Malam itu, Mandau kembali bergetar.

Bukan karena marah, tapi karena takut. Dalam tidur, Jaya melihat kilasan:

Dunia tanpa hutan. Anak-anak tak tahu lagi nama pohon. Roh-roh tua berjalan tanpa arah. Dan Mandau tergantung di dinding museum—dingin, mati, tak lagi punya suara.

Ia terbangun dengan dada sesak.

“Kalau kita tidak menolak secara keras,” kata Jaya pada Gilang, “maka nanti tak ada lagi yang bisa mendengar roh bicara. Semuanya akan dibungkam oleh bising dunia.”


Esoknya, kampung membuat keputusan besar.

Mereka membentuk Majelis Penjaga Warisan—kelompok muda dan tua, laki-laki dan perempuan, yang bertugas menjaga keseimbangan antara dunia lama dan dunia baru.

Mandau tidak lagi hanya disimpan oleh satu orang, tapi dijaga bersama oleh mereka yang bersumpah menjaga adat dan tanah. Tapi satu hal tak berubah:

Bilah itu hanya bisa disentuh oleh yang hatinya bersih dan jiwanya tak tamak.


Gilang bertanya, “Apakah nanti aku bisa memegang Mandau?”

Jaya menatapnya, lalu menjawab:

“Jika bukan kamu, lalu siapa? Tapi ingat, Gilang... memegang Mandau bukan soal bisa atau tidak. Tapi soal sanggup atau tidak.”

Dan malam itu, Jaya tahu, masa depan bukan di tangannya lagi. Tapi di generasi baru—mereka yang tak hanya tahu sejarah, tapi mau hidup di dalamnya.




BAB 10: Pewaris Terakhir atau Penjaga Baru?

Dua puluh tahun telah berlalu sejak Jaya terakhir menghunus Mandau.

Ia kini tua, rambut memutih, langkah pelan. Gilang sudah tumbuh dewasa, menjadi arsitek adat modern—membangun rumah panjang yang bisa bertahan gempa, tapi tetap dari kayu hutan yang dipilih lewat upacara.

Kampung berubah. Kini ada listrik tenaga surya, sekolah adat digital, dan festival budaya yang dikunjungi turis. Tapi satu hal tetap dijaga: Mandau pusaka tidak pernah dipamerkan.

Hingga suatu pagi yang dingin, Jaya bangun dan mendapati peti Mandau terbuka... kosong.

Tak ada tanda-tanda pencurian. Tak ada jejak kaki. Tapi Jaya tahu:
Mandau itu tak hilang.
Ia pergi. Dengan kehendaknya sendiri.


Gilang segera dipanggil.

“Dia tidak dicuri,” kata Jaya pelan. “Dia memilih berjalan.”

“Kenapa?” tanya Gilang, panik. “Apakah dia menolak kita?”

Jaya menggeleng.

“Mandau tidak menolak. Tapi mungkin... memanggil.

Beberapa malam kemudian, anak-anak kampung mulai bermimpi sama:

Seorang perempuan berpakaian merah tua, berjalan sendirian menembus ladang, membawa bilah bersinar samar. Wajahnya tidak jelas, tapi matanya… mata leluhur.


Perempuan itu bernama Nala.

Ia tinggal di seberang sungai besar, di kampung tua yang dulu tenggelam karena bendungan pemerintah. Ia yatim piatu. Dibesarkan oleh nenek bisu yang menyimpan satu benda aneh di dinding rumah: gambaran tangan menggenggam Mandau, dicat dengan darah kerbau.

Nala tumbuh berbeda. Ia bisa bicara dengan hewan. Ia tahu kapan hujan akan datang. Dan ia sering bermimpi tentang bilah yang ingin pulang, tapi bukan ke kampung… melainkan ke hutan yang dilupakan.


Lalu suatu malam, ia menemukan Mandau itu.

Bukan ditaruh. Bukan dikubur. Tapi tertancap di akar pohon tua, yang hanya muncul bila kabut cukup tebal.

Mandau menyala pelan. Tak bersinar seperti lampu. Tapi menyentuh lapisan jiwa.

Nala menyentuh gagangnya. Tidak terbakar. Tidak menjerit.
Mandau menerimanya.


Kabar itu sampai ke kampung Jaya.

Beberapa tetua marah:

“Mandau adalah milik garis darah ketua adat!”
“Itu roh leluhur kita, bukan sembarang anak seberang sungai!”

Tapi Jaya tenang. Ia hanya berkata:

“Roh tak memilih darah. Roh memilih yang mau mendengar.


Nala diundang ke kampung.

Ia tidak datang sebagai pahlawan. Ia datang sebagai anak yang membawa pulang sesuatu yang memanggilnya.

Saat ia menyerahkan Mandau kepada Jaya, bilah itu menolak kembali ke sarung. Ia tetap menyala di tangan Nala, seperti berkata: “Tempatku di sini.”

Dan Jaya, dengan hati yang lapang, berkata:

“Hari ini, kita buktikan: pewaris bukan soal garis, tapi soal arah.
“Mandau telah memilih. Dan kita… harus siap menjaganya bersama-sama.”


Epilog Sementara

Mandau pusaka kini dipegang Nala—penjaga baru, bukan keturunan, tapi utusan roh tanah.

Kampung bersatu. Roh-roh lama tenang. Tapi dunia luar… terus berubah.

Kelak, Mandau akan dipanggil lagi—bukan oleh roh, tapi oleh manusia yang lupa bahwa tanah ini dulu punya jiwa.

Dan saat itu tiba, Nala tak akan sendiri.



BAB 11: Tanah yang Terlupakan

Beberapa bulan setelah Mandau memilih Nala sebagai penjaga baru, berita tentang pusaka yang "hidup" bocor ke luar kampung. Entah siapa yang pertama membocorkan. Mungkin turis yang tanpa sadar merekam Nala saat memanggil hujan, atau mungkin dari akademisi yang pernah diwawancarai Gilang.

Yang pasti, dalam waktu singkat, kampung itu menjadi legenda digital.

"Mandau Bertuah yang Bisa Bergerak Sendiri"
"Pusaka Kalimantan Hidup dan Menolak Teknologi"
"Ada Kekuatan Gaib di Pedalaman Kalimantan?"

Maka datanglah mereka:
📍 Peneliti asing,
📍 Pemburu artefak,
📍 Investor pertambangan,
📍 Pembuat film dokumenter,
semua ingin tahu… atau mengambil.


Sementara itu, di tanah jauh di pedalaman…

Ada satu wilayah adat yang dulu dijaga oleh suku Dayak Siang, kini telah digusur untuk tambang logam langka. Hutan ditebang. Sungai mengering. Dan tanah... menjadi panas di malam hari.

Mereka tak tahu: di bawah tanah itu terkubur salah satu saudara roh Mandau, yaitu Tombak Kayau Lawung, senjata suci yang disegel karena terlalu buas.

Tombak itu tidak suka dibangunkan.
Dan kini... ia menggeliat dalam mimpi para pekerja tambang.

Seorang mandor pingsan di dekat alat berat sambil berteriak:

“ADA MATA DALAM TANAH! IA MELIHAT AKU! IA MAU DARAH BALIK!”


Nala merasakan panggilan itu.

Bukan dengan kata-kata. Tapi dengan rasa.
Mandau di tangannya berat tiap malam, ringan tiap pagi.
Seperti ingin terbang, tapi belum tahu ke mana.

Ia datang ke Jaya.

“Ada senjata lain. Saudaramu yang dulu pernah menyebutnya—Tombak Kayau.”

Jaya mengangguk berat.

“Tombak itu dulu dikunci oleh tujuh kepala adat. Tapi saat pohon mereka tumbang, ikatannya lepas.”

Gilang menambahkan sambil membuka peta digital dan peta leluhur:

“Kalau benar lokasinya di sini… itu berarti proyek tambang besar perusahaan internasional sudah menginjak wilayah roh lama.”


Sebuah ekspedisi rahasia pun dimulai.

Nala, Gilang, dan Jaya menyamar sebagai tim etnografi. Mereka masuk ke area tambang dengan alasan “studi budaya lokal.” Tapi niat mereka hanya satu:
Menemukan segel Tombak Kayau dan menyegelnya kembali.
Sebelum tombak itu memilih tuan baru yang salah.


Di kedalaman tambang, mereka menemukan goa terbelah dua.

Ada pahatan tangan. Dan dalam rongga batu… ada bekas luka, seperti tanah pernah disayat petir.

Mandau tiba-tiba melengking pelan. Bukan karena takut, tapi merasa dilihat.

Dan dari balik bayangan, muncul sosok hitam bertanduk satu, bermata api, memegang setengah bilah tombak patah.

“Kalian datang terlambat,” katanya.
“Tombak telah memilih… dan ia memilih manusia yang penuh ambisi.
Dia sudah bebas.”


Akhir Bab 11: Roh Lain Telah Bangkit

Keseimbangan dunia lama terganggu.

Mandau tak lagi cukup.
Kini semua penjaga warisan harus bangkit kembali—karena perang kali ini bukan tentang tanah... tapi tentang memori.
Memori siapa yang berhak hidup di bumi ini:
Mereka yang menambang… atau mereka yang menjaga?



BAB 12: Tiga Roh, Satu Janji

Satu malam sebelum mereka meninggalkan area tambang, Nala bermimpi aneh.

Ia berdiri di tengah tanah luas tak bertumbuhan. Langit gelap, bukan karena malam—tapi karena roh-roh burung Enggang terbang rendah di atas kepalanya, bersuara seperti ratapan.

Lalu muncullah tiga bayangan dari kabut:

  1. Seorang laki-laki tua bertongkat Mandau.
  2. Seorang perempuan muda berselendang kabut dan membawa kipas bulu enggang.
  3. Seorang pemuda bertubuh tegap memegang Tombak panjang, matanya seperti arang menyala.

Mereka bertiga berbicara dalam satu suara:

“Kami adalah Penjaga Awal. Kami yang dulu menyeimbangkan darah, hutan, dan langit.”

Perempuan berselendang maju mendekat.

“Aku adalah Roh Ketiga. Namaku Lia Semangat, penutur jiwa. Aku tak lagi dikenang, sebab suaraku perlahan dilupakan.”

“Kau harus menemukanku kembali. Sebab tanpa suaraku… Mandau hanya bisa membelah, Tombak hanya bisa menghancurkan. Tapi dengan suaraku, roh bisa bicara, tanah bisa memilih, dan darah bisa damai.

Nala terbangun. Tangannya gemetar.
Mandau di sisinya bersinar biru pucat, tanda bahwa roh pendamping sedang dekat.


Pencarian Senjata Ketiga Dimulai

Jaya menatap kosong saat mendengar nama "Lia Semangat".

“Dulu, nenekku pernah menyebut nama itu… Tapi bukan sebagai orang, melainkan sebagai nyanyian roh yang bisa menghentikan perang.”

Gilang menyela:

“Jika benar Lia Semangat itu roh perempuan penutur jiwa, mungkin ia bukan senjata dalam bentuk logam... tapi dalam bentuk suara, tarian, atau benda pusaka ringan seperti kipas, kain, atau bahkan mantra.

Nala mengingat sesuatu.

“Aku pernah melihat kain tua yang disulam dengan tulisan aneh. Dipegang nenekku sebelum beliau wafat. Di setiap ujungnya tergantung bulu enggang dan batu merah...”

Mereka pun berangkat ke kampung Nala. Menyusuri arsip lisan dan sisa-sisa tradisi nyaris punah.


Di Rumah Tua di Ujung Sungai

Di balik rak kayu, mereka menemukan kotak rotan berisi kipas bulu enggang yang tidak tampak istimewa… sampai Nala memegangnya.

Saat itu juga, seluruh ruangan bergetar pelan.
Bukan karena angin, tapi karena alam mendengarkan.

Jaya berlutut. Ia menitikkan air mata.

“Ini bukan kipas... ini adalah Lia Semangat. Senjata ketiga. Roh penyeimbang yang dilupakan.”

Gilang mencatat simbol di kain kipas, yang ternyata membentuk notasi nyanyian kuno. Jika dinyanyikan, liriknya mampu menenangkan roh yang mengamuk… atau memanggil roh untuk kembali ke tanah.


Tiga Penjaga Telah Kembali

Kini mereka tahu:

  1. Mandau – roh penebas kegelapan.
  2. Tombak Kayau – roh penghukum pengkhianat.
  3. Lia Semangat – roh penutur damai dan penjaga batas.

Tapi mereka juga tahu: Tombak Kayau telah berada di tangan manusia rakus yang dipilih oleh amarah, dan kini ia sedang membangun kekuatan.


Misi Nala Semakin Jelas

Bukan hanya menjaga Mandau.
Bukan hanya menyegel Tombak.
Tapi menyatukan kembali Tiga Roh Awal, agar perjanjian langit yang dulu dibatalkan bisa dihidupkan kembali.

Karena dalam kitab tua suku Dayak, tertulis:

"Jika ketiga roh berkumpul, dunia bisa diikat kembali dalam keselarasan. Tapi jika dua menentang satu, maka dunia akan terbelah, dan manusia tak lagi bisa mendengar tanah bicara."


Akhir Bab 12: Perjalanan Menuju Persimpangan

Nala, Gilang, dan Jaya bersiap menuju Lembah Tumbang Garing—tempat di mana tiga roh dulu disatukan dan perjanjian pertama ditulis dengan darah burung ruai.

Namun waktu mereka sempit.

Tuan baru Tombak Kayau sudah bergerak. Ia menyebarkan pengaruhnya dengan kedok pengembangan budaya lokal, tapi diam-diam menyiapkan perang yang akan merobek adat dari akarnya.




BAB 13: Lembah Tumbang Garing

Tiga hari tiga malam, Nala, Jaya, dan Gilang menyusuri jalur lama yang nyaris dilupakan peta. Jalan menuju Lembah Tumbang Garing hanya terbuka bagi mereka yang membawa roh, bukan sekadar kaki.

Di hutan yang sepi, pohon-pohon tua tidak hanya berdiri… mereka menatap.

Burung tak bernyanyi. Angin berhembus ke arah berlawanan dari kompas.
Waktu seakan mundur.

Lembah ini bukan hanya tempat—ia adalah perjanjian yang membatu.


Tiga Roh, Tiga Ujian

Saat mereka mencapai batu besar berbentuk tengkorak raksasa, Mandau di tangan Nala menyala merah. Lia Semangat—dalam bentuk kipas roh—bergetar. Dan di kejauhan, Tombak Kayau menusuk tanah, berdiri tegak sendiri, seperti menantang.

Tiga roh berkumpul. Maka muncul tiga ujian yang harus dilewati agar roh bisa bersatu kembali.

1. Ujian Darah – oleh Mandau

Di hadapan batu leluhur, Nala harus menghunus Mandau ke pohon asal dan bertanya:

“Apakah aku layak menyayat hanya untuk melindungi?”

Pohon menjawab dengan getah berdarah. Tapi Mandau tidak gemetar. Ia menerima Nala bukan sebagai prajurit… tapi penjaga luka.

2. Ujian Suara – oleh Lia Semangat

Nala menyanyikan nyanyian roh, meski suaranya belum sempurna. Hutan tiba-tiba bergetar lembut, dan roh-roh kecil keluar dari akar, membentuk siluet perempuan berselendang.

“Kau belum tahu semua baitnya, tapi kau bernyanyi dengan hati. Itu cukup untuk didengar langit.”

3. Ujian Amarah – oleh Tombak Kayau

Tombak melayang, menusuk bayangan Nala sendiri. Sosok hitam muncul, sosok dirinya yang pernah ingin membalas dendam pada dunia karena masa lalu kelamnya.

Nala tidak melawan. Ia memeluk bayangan itu dan berkata:

“Kemarahanmu nyata. Tapi bukan kamu yang memegang senjata ini.”

Bayangan itu hancur. Tombak Kayau menghilang dari tanah… dan muncul perlahan di tangan Jaya—bukan untuk dimiliki, tapi untuk diserahkannya kembali kepada leluhur.


Perjanjian Baru Ditegakkan

Di tengah lembah, mereka mendirikan Batu Sakral Baru, bukan untuk menyegel roh, tapi untuk menyatukan.

Nala menancapkan Mandau.
Jaya meletakkan Tombak Kayau.
Gilang membuka kain Lia Semangat dan membacakannya seperti doa.

Langit yang sejak tadi mendung mendadak terbelah cahaya.

Burung Enggang turun dari langit, satu per satu.
Roh-roh tua bertepuk tangan dalam angin.
Tanah bergetar ringan, seperti bernapas kembali.


Tapi di kejauhan... ada yang mengintai.

Sosok tuan baru Tombak—yang sempat menggunakan tombak itu untuk membakar satu desa adat kecil demi konsesi tanah—marah dan terancam.

Ia belum kalah. Ia telah merasakan kekuatan roh, dan kini ingin menundukkannya dengan ilmu teknologi dan darah.


Akhir Bab 13: Tenang Sebelum Badai

Perjanjian roh telah diperbarui.
Tiga pusaka telah bersatu kembali.
Tapi dunia luar… tidak diam.
Mereka tidak takut pada roh. Mereka hanya tidak percaya.

Dan ketidakpercayaan… lebih berbahaya dari tombak manapun.



BAB 14: Api di Ujung Mandau

Setelah perjanjian roh ditegakkan kembali di Lembah Tumbang Garing, tanah mulai berubah.

  • Burung-burung kembali.
  • Sungai mengalir jernih di tempat yang sebelumnya mati.
  • Anak-anak di kampung bermimpi tentang nenek moyang mereka setiap malam.

Namun kedamaian itu tidak bertahan lama.


Serangan Datang di Malam Sunyi

Sebuah perusahaan tambang multinasional, dengan izin legal tapi niat kotor, memasuki wilayah adat.

Dipimpin oleh pria ambisius bernama Victor Hendra, dia membawa alat berat, drone pencari logam, dan pasukan keamanan bayaran. Tapi lebih dari itu, dia membawa Tombak Kayau Palsu, hasil rekayasa laboratorium berdasarkan pencurian jejak energi asli tombak itu.

“Roh? Kami bisa membuat yang lebih kuat di laboratorium,” katanya pada reporter.
“Dan adat? Itu hanya cerita nostalgia yang menghambat kemajuan.”


Kampung Dibakar, Adat Dihina

Victor dan timnya mendirikan basecamp di bekas wilayah keramat. Mereka membangun menara sinyal, meracuni tanah dengan bahan uji. Dalam satu malam…

  • Rumah panjang terbakar,
  • Patung leluhur dirubuhkan,
  • Dan batu perjanjian di Lembah Tumbang Garing dihancurkan.

Seketika, Mandau dalam genggaman Nala bergetar keras. Ia menyala merah darah, mengeluarkan suara denting seperti jeritan besi panas.


Pertempuran Dimulai

Nala tak sendiri. Gilang memanggil para pemuda kampung.
Jaya memanggil roh leluhur dari balik hutan.
Dan Lia Semangat—dalam bentuk nyanyian—mengalun dari bukit, membawa ketakutan ke jantung musuh.

Pasukan Victor terkepung oleh… alam itu sendiri.

  • Tanah lumpur menelan kendaraan berat.
  • Kabut turun pekat seperti kegelapan padat.
  • Burung-burung enggang memutari mereka dalam formasi menakutkan.

Pertarungan Terakhir

Di tengah hutan terbuka, Nala bertemu langsung dengan Victor.
Ia berdiri dengan baju anti-peluru dan tongkat logam berlampu biru—tiruan Tombak Kayau.

“Anak kecil adat. Lihat sekitarmu. Hutan ini akan kami beli. Roh kalian bisa disimpan di museum nanti.”

Nala tak berkata apa-apa. Ia mengangkat Mandau.
Tak bersinar merah lagi.
Tapi biru tua… warna yang hanya muncul saat roh tertinggi hadir.

Pertarungan pun berlangsung cepat. Tapi bukan sekadar adu senjata—ini adalah adu niat dan sejarah.

  • Victor menebas dengan kekuatan buatan,
  • Nala menangkis dengan jiwa leluhur.

Akhirnya, Mandau menghantam tongkat palsu itu. Bukan dengan amarah, tapi dengan keputusan roh.

Tongkat Victor pecah. Dia terpental, dan seluruh alat berat berhenti seketika—seolah roh tanah mematikan semua teknologi di sekelilingnya.


Tombak Kayau Asli Kembali ke Tanah

Jaya menusukkan tombak asli ke dalam tanah yang sudah dikotori racun.
Tanah itu bergetar. Akar-akar merambat naik, menelan tombak untuk disucikan.

Gilang dan warga menanam kembali patung leluhur, disandingkan dengan batu perjanjian baru.

Lia Semangat dinyanyikan oleh seluruh kampung malam itu—sebuah lagu panjang yang tak pernah lagi dinyanyikan sejak 300 tahun lalu.


Akhir Bab 14: Dunia Baru Bangkit

Pemerintah, yang semula berpihak pada investor, kini dikritik publik internasional setelah bukti video perusakan adat tersebar. Proyek tambang dibekukan. Wilayah adat Tumbang Garing resmi ditetapkan sebagai Zona Warisan Hidup.

Tapi yang paling penting:
Mandau tidak ingin lagi bertarung.

Ia tidak bersinar. Tidak bergetar. Hanya… diam, seperti mengatakan:

“Tugasmu hampir selesai, Penjaga.”


 


BAB 15: PENJAGA TERAKHIR

Beberapa bulan telah berlalu sejak hutan Tumbang Garing selamat dari kehancuran.

Victor Hendra dan perusahaannya angkat kaki, tidak hanya karena tekanan publik dan hukum, tapi karena seluruh wilayah seperti menolak kehadiran mereka. Satelit mati saat memantau. GPS hilang arah. Setiap drone jatuh begitu melewati batas roh.


Kampung Bangkit, Tapi Tak Sama

Rumah panjang dibangun kembali, tapi kini dengan ukiran baru:

  • Seekor burung enggang menghadap ke bawah,
  • Sepasang mata terbuka di bilah Mandau kayu,
  • Dan simbol ketiga: tiga roh berdiri melingkar, menggenggam api kecil di tengah.

Masyarakat mulai kembali menyanyikan Lia Semangat setiap malam Jumat, tidak lagi sebagai ritual, tapi sebagai lagu tidur untuk anak-anak.

Anak-anak yang dulu takut pada hutan, kini diajarkan mengenali akar, suara daun, dan… arti diam.


Mandau Diletakkan, Bukan Disembunyikan

Nala, kini tidak lagi hanya penjaga, tapi tumpuan cerita. Ia tidak menyimpan Mandau di rumahnya.

Sebaliknya, Mandau itu diletakkan di sebuah rumah kecil dari kayu ulin, terbuka bagi siapa pun yang ingin melihat. Tidak dipuja. Tidak ditakuti. Hanya… dihormati.

“Senjata ini bukan milikku,” kata Nala.
“Ia milik mereka yang siap menjaga, bukan yang ingin menyerang.”


Pesan Terakhir dari Roh

Suatu malam, Nala bermimpi. Ia berjalan sendirian di hutan, tapi semuanya putih. Pohon-pohon bercahaya. Air mengalir seperti benang emas. Dan di sana, berdiri empat sosok roh:

  1. Leluhur pertama pemilik Mandau.
  2. Perempuan tua pemilik Lia Semangat.
  3. Kepala suku pembawa Tombak Kayau.
  4. Dan… seorang anak kecil memegang daun rotan.

“Kau bukan yang terakhir, Nala,” kata roh pertama.
“Kau hanya yang membuka kembali jalan.”
“Yang terakhir… belum lahir.”

Nala tersenyum dalam tidurnya.


Epilog: Cerita Diteruskan

Gilang menulis buku tentang kejadian ini. Ia beri judul:

"Roh yang Tak Tidur: Pusaka, Tanah, dan Darah"

Buku itu menjadi rujukan untuk generasi muda Dayak, bukan sekadar kisah, tapi ingatan hidup.

Sementara itu, Jaya memilih tinggal di hutan, menjadi dahan antara dunia manusia dan roh, melatih pemuda yang ingin belajar bukan hanya bela diri, tapi juga bela hutan.

Dan Mandau?

Ia tetap tajam, tapi tak lagi haus darah.

Ia diam, tapi selalu mendengar.


TAMAT 


 

Post a Comment for "Legenda Mandau Pusaka: Kisah Penjaga Roh Leluhur dari Hutan Kalimantan"